Di kamp pengungsian Al-Syati, barat Kota Gaza, seorang anak bernama Muhammad Mundzir Al-Darbi duduk lemas, tak sanggup lagi melawan rasa laparnya. Dalam keputusasaan, ia meraih segenggam pasir dan memakannya. Ini bukan sekadar tindakan iseng atau marah, melainkan jeritan perut yang benar-benar kosong, buah kegagalan berulang kali mendapatkan bantuan pangan.

Muhammad, bocah 13 tahun itu, berlari ke arah pantai setiap kali mendengar kabar ada truk bantuan datang. Bersama anak-anak lain, ia bergegas, berharap bisa membawa pulang sepotong roti. Namun, berkali-kali ia tiba setelah semua bantuan habis. Lebih dari 12 kali ia mencoba, lari, menunggu, berharap, tetapi selalu pulang dengan tangan kosong.

Pada suatu hari, Muhammad benar-benar menyerah. Di rumah tak ada tepung, tak ada air, tak ada apa pun untuk menahan lapar. Lalu, dengan mata berlinang, ia makan pasir.

Muhammad mengenang hari-hari sebelum perang, saat roti, air, dan makanan lain masih mudah didapat. Kini, tidak ada apa-apa. Bocah yang dulu begitu menjaga harga diri dan enggan meminta-minta, kini terpaksa bekerja pada sepupunya demi bisa membeli sesuap makanan untuk adik perempuannya.

Ia menutup ceritanya dengan kalimat yang memilukan, “Dulu kami hidup terhormat, sekarang kami harus meminta-minta demi bertahan hidup.”

Di tengah derita itu, Muhammad hanya punya satu pertanyaan sederhana yang terus ia ulang: “Di mana dunia? Kami kelaparan.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here