Rencana pembentukan kekuatan internasional sementara di Gaza kembali memantik perdebatan. Dalam rancangan resolusi yang diajukan Amerika Serikat ke Dewan Keamanan PBB, pasukan ini akan bertugas menjaga “stabilitas” dan bekerja sama dengan Mesir serta Israel.
Sumber diplomatik Palestina mengonfirmasi kepada Al Jazeera Net bahwa delegasi Palestina sempat dilibatkan dalam pembahasan rancangan resolusi tersebut sebelum disebarkan, dengan beberapa batasan agar pasukan itu tetap bisa diterima secara politik oleh rakyat Palestina. Namun, sejumlah analis memperingatkan bahwa kekuatan “sementara” itu bisa berubah menjadi permanen—seperti yang sering terjadi di wilayah konflik lain di dunia.
Sikap Resmi Palestina: “Gaza Harus Dikelola oleh Orang Palestina Sendiri”
Menurut Wasil Abu Yusuf, anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), posisi resmi Palestina terhadap rancangan resolusi ini berpijak pada tiga prinsip utama.
Pertama, pasukan internasional harus berkarakter Arab, dengan mandat melindungi warga Gaza dari agresi Israel dan mengawasi penerapan gencatan senjata.
Kedua, pemerintahan Gaza harus tetap berada di tangan rakyat Palestina sendiri, di bawah otoritas PLO sebagai satu-satunya perwakilan sah bangsa Palestina. Sebuah komite administratif di bawah pemerintah Otoritas Nasional Palestina akan bertanggung jawab atas bantuan kemanusiaan, rekonstruksi, dan keamanan lokal.
Ketiga, Palestina menolak segala bentuk penempatan Gaza di bawah kendali asing atau sistem “protektorat”. Gaza, Tepi Barat, dan Al-Quds harus dilihat sebagai satu kesatuan geografis dan politik dalam kerangka negara Palestina yang masih diduduki.
Abu Yusuf menegaskan bahwa rancangan resolusi ini sempat dibahas secara langsung antara perwakilan Palestina di PBB dan pihak Amerika Serikat, meski tanpa rincian lanjutan.
Antara Perlindungan dan Kendali
Pengamat politik Sulaiman Basyarat menyebut istilah “sementara” dalam resolusi itu sarat makna politik. Ia mengingatkan, dalam banyak kasus, pasukan internasional justru bertahan jauh lebih lama dari mandat awalnya, tergantung pada kepentingan negara-negara besar yang mengontrol Dewan Keamanan.
Menurutnya, jika pasukan internasional ini hanya bertugas di Gaza, hal itu bisa memperkuat fragmentasi Palestina (baik secara politik, administratif, maupun sosial) dan memperlakukan Gaza seolah-olah entitas terpisah dari Tepi Barat.
Lebih jauh, Basyarat mengkhawatirkan struktur otoritas pasukan ini yang akan bernaung di bawah “Dewan Perdamaian Gaza”, di mana AS dan Israel memiliki posisi dominan, sementara negara lain dikesampingkan. Kondisi itu, katanya, membuka peluang bagi Israel untuk memanipulasi mandat pasukan sesuai kepentingannya.
Ia juga mengingatkan kemungkinan mandat pasukan internasional diperluas hingga ke pelucutan senjata kelompok perlawanan. “Apakah pasukan itu hanya akan mengawasi, atau justru berhadapan dengan rakyat Palestina?” tanyanya.
Namun di sisi lain, ia mengakui adanya sisi positif: keputusan PBB dapat mengembalikan isu Palestina ke forum internasional, sesuatu yang selama ini berusaha dihapus oleh Israel.
Tantangan dan Kekhawatiran Lain
Pengamat politik lain, Hasan Ayyub, menilai rancangan resolusi AS masih menyimpan banyak celah, terutama terkait posisi resmi Otoritas Palestina. Ia menyoroti bahwa meski Otoritas Palestina telah menerima rencana Presiden Donald Trump tanpa revisi, belum jelas bagaimana struktur baru pasukan ini akan berkoordinasi dengan pemerintah Palestina.
Ayyub juga menyoroti ketidakjelasan nasib senjata perlawanan dalam rancangan resolusi. Rencana Trump tidak secara eksplisit menyebut “pelucutan senjata”, namun berbicara tentang “pembongkaran infrastruktur militer” kelompok perlawanan.
Ia menegaskan, keputusan PBB tentang Gaza tetap penting agar nasib wilayah itu tidak sepenuhnya dikendalikan oleh AS dan Israel. Tapi keputusan ini, ujarnya, bisa menjadi “pedang bermata dua” jika diikuti tekanan terhadap Palestina untuk melakukan reformasi yang dirancang di Washington dan Tel Aviv.
Syarat agar Pasukan Internasional Diterima Palestina
Menurut Ayyub, agar pasukan internasional benar-benar diterima secara politik dan sosial oleh rakyat Palestina, setidaknya tiga syarat harus dipenuhi:
- Legitimasi regional. Negara-negara Arab dan regional, termasuk Turki, harus dilibatkan secara resmi agar tidak muncul benturan dengan kelompok perlawanan dan warga Gaza.
- Mandat terbatas. Pasukan harus berfungsi sebagai penjaga gencatan senjata dan fasilitator bantuan, bukan kekuatan politik baru yang mengatur Gaza.
- Batas waktu yang jelas. Tugas pasukan harus terkait dengan periode rekonstruksi dan bantuan kemanusiaan, serta menjamin keterhubungan Gaza dengan Tepi Barat—baik secara politik maupun administratif.
Ayyub menilai, Israel kemungkinan besar akan mendorong agar pasukan itu bersifat permanen, mirip dengan mandat UNIFIL di Lebanon Selatan, yang membuat situasi “tidak damai tapi juga tidak perang” terus berlangsung selama bertahun-tahun.
Sumber: Al Jazeera










