Natal tahun ini di Jalur Gaza dirayakan tanpa hiasan atau perayaan meriah, meski gencatan senjata telah disepakati. Warga Kristen di wilayah yang dilanda genosida ini memilih mengisi hari besar dengan doa, bukan perayaan.

Edward Antoine menceritakan kepada Al Jazeera bahwa keluarganya memutuskan tidak merayakan Natal dan hanya mengisi waktu dengan doa.

“Kesedihan menyelimuti hati kami, sama seperti warga Muslim di Gaza, akibat perang yang dilancarkan Israel,” ujarnya.

Edward kehilangan ibu dan saudara perempuannya akibat tembakan sniper Israel.

“Bagaimana mungkin saya merasakan sukacita setelah semua yang dialami keluarga saya?” kata Edward.

Kesedihan juga dirasakan oleh Faten Salfiti, yang kehilangan suami dan putranya dalam konflik. Ia menegaskan tidak akan merayakan Natal tahun ini.

“Apa yang terjadi sangat sulit diterima, kesedihan menghuni hati kami,” ujarnya, seraya mengekspresikan kerinduannya pada keluarga dan harapannya agar Gaza kembali ke kehidupan normal. Ia menambahkan bahwa perang belum benar-benar berakhir, dengan serangan yang masih berlangsung dan kehidupan di Gaza tetap penuh kesulitan.
Anak perempuan, Maryam Tarzi, juga mengaku tidak merasakan kegembiraan Natal. Ia takut konflik kembali menghantam Gaza dan berduka karena suasana perayaan yang dulu mewarnai hari besar kini lenyap.
Natal di Gaza tahun ini menjadi cermin dari luka mendalam yang ditinggalkan konflik, di mana doa menjadi satu-satunya cara warga Kristen menandai hari suci mereka di tengah kesedihan dan ketidakpastian.
Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here