Oleh: Ustaz Umar Makka, Lc (Sekjen SoA)

Perang Yarmuk dimulai pada tahun ke-13 Hijiriah atau pada masa Kekhalifahan Abu bakar Ash-Shiddiq. Menurut sejarah, Perang Yarmuk berlangsung pada 15 Agustus 636 M hingga 20 Agustus 636 M. Di saat Perang Yarmuk tengah berlangsung, umat Islam mendapat kabar duka dari wafatnya khalifah Abu Bakar as-Shiddiq. Pengganti Rasulullah SAW itu wafat pada tanggal 8 bulan Jumadil Akhir tahun ke-13 Hijriyah, dan adapula yang menyebutkan beliau wafat pada 21 Jumadil Akhir 13 H.

Peperangan tersebut adalah pertempuran antara pasukan muslim dan pasukan Romawi yang beragama Nasrani di lokasi tidak jauh dari lembah Yordania yakni Sungai Yarmouk. Sungai itu menjadi pusat perairan yang ditumbuhi tanaman, yang mengalir dari dataran tinggi Hawran ke lembah Yordania, tepat di selatan Laut Galilee.

Dalam peperangan tersebut pasukan muslim berhasil memukul mundur pasukan Romawi. Perang tersebut merupakan perang terdahsyat dalam sejarah peradaban Islam, sebab tentara Romawi mencapai 240 ribu orang sedangkan pasukan muslim sekitar 46 ribu orang. Kendati begitu, Khalid bin Walid bersama empat komandan perang yang ditunjuk Abu Bakar Ash-Shiddiq; Amru bin Ash, Yazid bin Abu Sofyan, Abu Ubaidah Al-Jarrah, dan Syurahbil bin Hasanah, mampu mengalahkan pasukan Romawi.

Setelah kemenangan gemilang itu, Abu Ubaidah Al-Jarrah yang didapuk Khalifah Umar bin Khattab menggantikan Khalid bin Walid membagi negeri Syam menjadi empat daerah yakni Hims, Damaskus, Busrah atau Yordania, dan Palestina. Damaskus kemudian dipimpin oleh Yazid bin Abu Sofyan, Yordania dipimpin Syurahbil bin Hasanah, Abu Ubaidah Al-Jarrah di Hims, dan Palestina dipercayakan kepada Amru bin Ash.

Setelah pembagian itu, Amru bin Ash ditugaskan membebaskan Baitul Maqdis di Palestina. Saat itu, Al-Quds di bawah tanggung jawab pemimpin kristiani Uskup Sophronius sebagai perwakilan Bizantium dan kepala gereja Kristen Yerussalem. Ketika Amru bin Ash mengepung Al-Quds, Sophronius tetap menolak untuk menyerahkan kunci Baitul Maqdis kepada umat Islam.

Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Patriark kota Yerusalem saat itu, Sophronius, hanya akan menyerahkan kunci Baitul Maqdis kepada pria yang memiliki nama tiga huruf yakni ‘Ain, mim, dan Ra. Mereka bahkan menyebutkan ciri-ciri orang yang akan menerima kunci tersebut dengan merujuk kitab-kitab mereka.

Mendengar syarat itu, Amru bin Ash mengatakan kepada mereka bahwa namanya terdiri dari huruf-huruf yang disebutkan. Namun Sophronius membantah dan mengatakan nama Amru terdiri dari empat huruf, dan tidak sesuai dengan ciri-ciri fisik yang disebutkan dalam kitab Nasrani.

Setelah mencermati ciri-ciri yang disampaikan, para sahabat di bawah komanda Amru bin Ash kemudian mengatakan bahwa dimaksud adalah Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Amru lalu mengirim surat kepada Abu Ubaidah Al-Jarrah yang kala itu berada di Hims. Dia meminta Abu Ubaidah mengirim surat kepada Umar bin Khattab untuk memberitahukan keinginan petinggi gereja di Baitul Maqdis.

Umar bin Khattab Terima Kunci Baitul Maqdis

Setelah menerima surat dari Abu Ubaidah Al-Jarrah, Umar bin Khattab kemudian bermusyawarah dengan para sahabat senior seperti Usman bin Affan dan Ali bin Thalib. Dia meminta pendapat kepada sahabat Rasulullah terkait keputusan yang akan diambil.

Saat memberikan pendapat, Usman bin Affan mengusulkan agar Umar tidak berangkat ke Al-Quds untuk menerima kunci Baitul Maqdis, agar menjadi penghinaan kepada orang-orang Romawi.

Namun Ali bin Thalib berkata lain. Dia meminta Umar bin Khattab berangkat ke Al-Quds dan menerima secara langsung kunci pembebasan Baitul Maqdis. Kedatangan umar ke Syam juga akan memberi dukungan dan penyemangat kepada pasukan muslim. Terlebih lagi pasukan muslim yang di Syam sudah dua tahun tidak melihat Umar, sejak dikirim oleh Abu Bakar pada tahun 13 H.  

Umar bin Khattab memutuskan berangkat ke Al-Quds untuk menerima kunci baitul Maqdis. Ia minta ditemani oleh seorang asisten. Dalam perjalanan, Umar hanya mengendarai satu unta. Umar dan asistennya bergantian naik di atas unta tersebut.

Saat hendak mencapai Al-Quds, Umar berjalan kaki karena saat itu giliran sang asisten naik unta. Lantaran tidak enak hati, sang asisten memaksa Umar saja yang naik unta. Tapi Umar menolak.

Saat itu, seluruh penduduk Al-Quds melihat Umar datang dengan unta yang ditunggangi pelayannya. Semua orang takjub. Patriark Sophronius pun terkaget-kaget dengan pemandangan itu. Dia tidak menyangka pria dengan pakaian sederhana dan membiarkian untanya ditunggangi oleh pelayan adalah penakluk baitul Maqdis.

Umar dan Sophronius pun bernegosiasi. Hasil negosiasi itu terkenal dengan ‘Umariyya Covenant’. Hingga kini, kesepakatan itu masih disimpan di Gereja Suci Sepulchre di Yerusalem. Teks perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:

Bismillahirrahmanirrahim.

Ini adalah jaminan keamanan dari hamba Allah, Umar, amirul mukminin, kepada penduduk Yerusalem. Umar memberikan jaminan terhadap jiwa mereka, harta, gereja-gereja, salib-salib, orang-orang yang lemah, dan mereka tidak dipakasa meninggalkan agama mereka. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang merasa terancam dan diusir dari Yerusalem.

Dan orang-orang Yahudi tidak akan tinggal bersama mereka di Yerusalem. (Ini adalah permintaan penduduk Yerusalem, karena penduduk Yerusalem sangat membenci orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi membunuhi tawanan Nasrani di wilayah Persia. Sampai ada riwayat yang menyebutkan, Umar menjamin tidak ada Yahudi yang lewat dan bermalam di Yerusalem).

Penduduk Yerusalem diwajibkan membayar pajak sebagaimana penduduk kota-kota lainnya, mereka juga harus mengeluarkan orang-orang Bizantium, dan para perampok. Orang-orang Yerusalem yang tetap ingin tinggal di wilayah Bizantium, mereka boleh membawa barang-barang dan salib-salib mereka.

Mereka dijamin aman sampai mereka tiba di wilayah Bizantium. Setelah itu mereka pun masih diperbolehkan kembali lagi ke Yerusalem jika ingin berkumpul dengan keluarga mereka, namun mereka wajib membayar pajak sebagaimana penduduk lainnya.

Apabila mereka membayar pajak sesuai dengan kewajiban, maka persyaratan yang tercantum dalam surat ini adalah di bawah perjanjian Allah, Rasul-Nya, Khalifah, dan umat Islam. (Tarikh at-Thabari).

Setelah kesepakatan, kunci Baitul Maqdis resmi diserahkan pada 637 SM. Gerbang Al-Quds pun terbuka dan Khalifah Umar dijamu di Gereja Suci Sepulchre. Saat di dalam, Patriark menawarkan jika Umar ingin berdoa. Umar menolak dengan alasan ia khawatir umat Islam nanti akan mengikutinya. Dia shalat di area selatan gereja yang kemudian menjadi Masjid Umar di Al-Quds.

Sumber: Youtube AQL Network Baitul Maqdis

Editor: Moe

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here