Di Gaza, tanah yang setiap sudutnya mengisahkan luka, sebuah foto mengguncang dunia. Seorang pemuda Palestina gugur syahid dalam kondisi kelaparan. Ia tidak dibaringkan di atas tandu medis, tapi di atas gerobak kayu pengangkut tepung, satu-satunya alat yang kini dianggap lebih berharga dari nyawa, karena membawa harapan sekarung tepung untuk keluarga yang kelaparan.
Dia pergi menjemput hidup, tapi pulang dalam diam sebagai jenazah.
Foto memilukan itu menyebar cepat di media sosial, bukan sekadar gambar, tapi simbol tragis dari genosida dan kelaparan yang melilit Gaza selama lebih dari 20 bulan. Tubuh kurusnya, tulang menonjol karena lapar, terbaring di atas gerobak, bukan tandu, bukan mobil ambulans. Sebuah pengingat bisu bahwa di Gaza, mencari roti bisa berakhir dengan kematian.
“Tak Butuh Penjelasan Lagi”
Warganet Palestina dan dunia Arab menyambut gambar ini dengan gelombang kemarahan dan pilu. Banyak yang menyebut ini sebagai bukti bahwa tentara pendudukan Israel sengaja menargetkan warga kelaparan yang mengantre bantuan. Sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dibiarkan begitu saja oleh dunia yang memilih jadi penonton (diam) , tapi sejatinya turut serta dalam kejahatan.
Salah satu aktivis menulis: “Tak pernah sejarah kemanusiaan mengenal tragedi seperti ini. Ia gugur karena lapar… hanya ingin membawa pulang sepotong kehidupan.”
Komentar lain menambahkan: “Bayangkan: tubuh kurus yang melekat pada kulit, pulang bukan dengan tepung, tapi sebagai jenazah. Lapar yang membunuh, dunia yang berpaling.”
Gerobak yang Seharusnya Berisi Tepung, Kini Membawa Jenazah
Beberapa warganet mengungkapkan bahwa ini bukan pertama kalinya warga Gaza yang kelaparan pulang dalam kondisi syahid dan dipulangkan dengan gerobak barang.
Dalam banyak kasus, keluarga tak menemukan mereka di rumah sakit, tak ada nama di daftar syuhada, tak ada kabar… hingga jasad ditemukan di reruntuhan atau terbujur di pinggir jalan, tubuh hancur oleh peluru dan kelaparan.
Seorang ayah bahkan bersyukur saat menemukan jasad anaknya setelah 11 hari pencarian.
“Setidaknya aku tahu ia sudah kembali… walau hanya tubuhnya. Ia pergi untuk membawa tepung, tapi pulang sebagai syuhada.”
Statistik Kematian di Titik Bantuan: Bukan Angka, Tapi Nyawa
Menurut data resmi dari Kantor Media Pemerintah di Gaza, sejak dimulainya distribusi bantuan melalui skema Amerika-Israel yang kontroversial, sebanyak 450 warga gugur syahid, 3.466 luka-luka, dan 39 masih hilang tanpa kabar, semuanya dalam upaya mendapatkan makanan.
Pemerintah Gaza menyebut skema distribusi bantuan itu bukan “jalur kemanusiaan”, tapi “perangkap kematian.” Pasukan Israel, menurut mereka, sengaja membuka wilayah militer selama beberapa jam, membiarkan ribuan warga kelaparan berkumpul, lalu menembaki mereka dari jarak dekat.
Dunia yang Buta, Bantuan yang Menyesatkan
“Setiap pagi berdarah di Gaza,” tulis seorang pengguna X, “warga bangun bukan untuk mencari hidup, tapi bertaruh nyawa demi sesuap makanan.”
Bagi warga Gaza, “misi kemanusiaan” kini menjadi sinonim dengan jebakan mematikan. Dan dunia? Dunia hanya menonton, mencatat, dan melanjutkan hari seperti biasa.
“Berapa banyak nyawa lagi yang harus gugur di atas gerobak?”
“Sampai kapan Amerika akan menyelubungi peluru dengan kertas bertuliskan bantuan?”
Sumber: Al Jazeera