Setelah dua tahun perang pemusnahan yang meluluhlantakkan Gaza, penghentian serangan bukan berarti berakhirnya agresi. Israel kini melancarkan perang lain (lebih halus tapi tak kalah mematikan) perang terhadap tubuh dan kesehatan manusia.

Bentuknya disebut sebagian pengamat sebagai “rekayasa kelaparan”. Di bawahnya, truk-truk bantuan yang diizinkan masuk justru membawa cokelat, biskuit, dan minuman bersoda, bukan daging segar, sayur, atau buah. Hasilnya: warga Gaza “menggemuk”, tapi bukan karena sehat, melainkan karena tubuh mereka dipaksa menyimpan lemak tanpa gizi, bukan otot yang mereka butuhkan untuk pulih dari dua tahun kelaparan.

Hari ini, di tengah reruntuhan Gaza, hampir mustahil menemukan sumber protein dasar. Daging, ikan, ayam, dan telur, semua langka, bahkan nyaris tak ada. Yang melimpah justru tepung, beras, pasta, kentang, gula, dan makanan olahan tinggi karbohidrat dan lemak: keju olahan, krim kaleng, cokelat, permen, hingga minuman bersoda. Barang-barang yang seharusnya bersifat pelengkap kini menjadi menu utama.

Protein hewani masih menjadi barang mewah. Telur tak lagi ditemukan di pasar. Produk susu hampir punah. Daging dan ayam beku hanya masuk dalam jumlah terbatas, membuat harganya melambung, tak terjangkau bagi sebagian besar keluarga.

Bagi banyak warga, perang kelaparan belum usai. Mereka mengeluhkan bahwa makanan yang kini beredar tidak mengembalikan kekuatan tubuh, tidak memulihkan luka batin dan fisik yang ditinggalkan perang. “Makanan kaleng tak bisa menggantikan gizi alami dari daging dan telur,” kata seorang warga. “Kami kenyang, tapi tidak sembuh.”

Tubuh yang Kenyang Tapi Sakit

Tubuh manusia membutuhkan setidaknya 10% dari total kalori hariannya berasal dari protein — zat yang menjadi fondasi otot, jaringan, enzim, dan sistem kekebalan tubuh. Kekurangannya, seperti yang kini melanda Gaza, menimbulkan gejala yang menyiksa:

  1. Pembengkakan tubuh (edema) — perut, kaki, dan tangan menampung cairan karena jaringan kehilangan keseimbangannya.
  2. Perubahan suasana hati — karena otak kekurangan asam amino pembentuk dopamin dan serotonin, muncul depresi dan agresivitas.
  3. Rambut rontok dan kulit rusak — tubuh tak lagi mampu membentuk kolagen dan keratin.
  4. Kelemahan otot — massa otot hilang, metabolisme melambat, risiko patah tulang meningkat.
  5. Rasa lapar terus-menerus — tubuh berteriak minta energi yang tak terpenuhi.
  6. Penyembuhan luka lambat — karena tubuh tak punya cukup kolagen untuk memperbaiki jaringan.
  7. Sistem imun menurun — tubuh kehilangan kemampuan memerangi virus dan bakteri.

Dengan kata lain, Gaza kini menghadapi bentuk lain dari kekerasan: penyakit yang lahir dari kenyang semu.

Ilusi Bantuan, Strategi Pengepungan

Dalam laporan Middle East Eye, puluhan truk bantuan dilaporkan memasuki Gaza dalam tiga pekan terakhir, membawa aneka barang dagangan yang sempat menghidupkan pasar. Warga melihat deretan cokelat, kopi, bahkan sedikit buah di kios-kios. Sekilas, pemandangan itu tampak seperti tanda pulihnya kehidupan.

Namun, di balik warna-warna cerah itu tersembunyi ironi. “Sebagian besar barang itu karbohidrat dan gula,” kata Abdullah Sharshara, peneliti hukum dari Gaza. “Israel menciptakan ilusi bahwa blokade telah dicabut, padahal yang masuk hanyalah makanan kosong tanpa nilai gizi.”

Ia menjelaskan, barang-barang yang diizinkan masuk justru mendorong masyarakat untuk bergantung pada makanan cepat saji, sekaligus memaksa lembaga kemanusiaan membeli dan menyalurkannya, karena hanya itu yang tersedia di pasar lokal.

“Israel sengaja membiarkan makanan tertentu masuk untuk menutupi tanda-tanda kekurangan gizi yang terlihat jelas pada tubuh warga Gaza,” ujarnya. “Mereka menciptakan citra palsu bahwa rakyat Gaza kini ‘lebih sehat’, padahal yang terjadi adalah sebaliknya: tubuh-tubuh yang membengkak karena gizi buruk.”

Sharshara mengaku kehilangan 20 kilogram selama perang, tetapi berat badannya kini meningkat cepat, bukan karena sembuh, melainkan karena tubuhnya bereaksi terhadap makanan yang salah. “Saya makan dalam porsi yang sama, tapi berat badan naik drastis,” katanya. “Ini bukan pemulihan. Ini penyakit.”

Sumber: Al Jazeera, Middle East Eye, dan laporan lapangan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here