Dalam laporan mendalam yang dirilis The Times, wilayah Tepi Barat disebut sebagai jantung yang menentukan nasib negara Palestina, sebuah wilayah yang dianggap komunitas internasional sebagai inti dari visi solusi dua negara. Namun kenyataannya, ancaman aneksasi Israel dan melonjaknya kekerasan pemukim Yahudi di wilayah itu justru mendorong solusi tersebut menuju jurang kehancuran.

Laporan ini menyoroti bahwa pengakuan negara Palestina oleh Prancis dan Inggris tidak hanya didorong oleh krisis kemanusiaan akut di Gaza, tapi juga oleh eskalasi kekerasan sistematis di Tepi Barat. Menurut penulis laporan, Richard Spencer, Tepi Barat dipandang Barat sebagai satu-satunya harapan yang tersisa untuk menciptakan perdamaian dan mempertahankan solusi dua negara yang selama ini dipegang teguh oleh Eropa.

Namun jika wilayah ini dianeksasi sepenuhnya oleh Israel, maka ide tentang negara Palestina akan musnah. “Gaza terlalu kecil untuk menopang kehidupan sebuah negara, dan kini para menteri Israel mulai bicara soal menelannya juga,” ungkap laporan tersebut.

Diam-diam, Penjajahan di Tepi Barat Terus Meluas
Sejak perhatian dunia tersita oleh serangan 7 Oktober 2023 dan krisis di Gaza, kampanye permukiman Yahudi di Tepi Barat justru bergerak dalam senyap namun intens. Kekerasan meningkat di kota-kota seperti Hebron, Ramallah, dan Nablus, diiringi narasi pemerintah Israel yang mulai menyebut kawasan itu dengan nama “Yehuda dan Samaria.”

Terbaru, seorang pemukim Israel membunuh aktivis Palestina, ‘Udah Al-Hathalin, yang dikenal lewat kontribusinya dalam film dokumenter pemenang Oscar “No Other Land.”

The Times menilai bahwa kekerasan seperti ini tidak hanya menimbulkan luka baru, tetapi juga memicu radikalisasi di kalangan pemuda Palestina, yang kemudian dijadikan dalih oleh Israel untuk melancarkan serangan militer lebih besar.

Netanyahu bahkan menyamakan Hamas di Gaza dengan Otoritas Palestina di Tepi Barat, meski yang terakhir secara resmi masih bekerja sama dengan Israel. Ini memberi sinyal bahwa militerisasi penuh atas seluruh wilayah Palestina bukan lagi kemungkinan, tapi rencana yang sedang berlangsung.

Inggris dan Prancis Bergerak karena “Waktu Hampir Habis”
Sebagai dua negara yang dulu menggambar peta wilayah Timur Tengah melalui kolonialisme, Inggris dan Prancis kini merasa memiliki tanggung jawab moral dan strategis untuk menghentikan situasi sebelum terlambat. Langkah mereka mengarah pada pengakuan negara Palestina bukan karena sudah ada solusi konkret, tetapi karena mereka tak lagi bisa diam melihat situasi memburuk tanpa kendali.

Sementara itu, Netanyahu terus memainkan politik dua muka: menolak solusi dua negara di depan publik domestik, namun tak berani menolaknya terang-terangan di depan Amerika Serikat demi menjaga dukungan Washington.

Di sisi lain, tokoh-tokoh sayap kanan seperti Bezalel Smotrich dan Itamar Ben Gvir terang-terangan mendesak aneksasi penuh atas Tepi Barat, dan mendapat angin segar setelah Knesset Israel mengesahkan mosi non-mengikat yang menyatakan bahwa Tepi Barat adalah “bagian yang tak terpisahkan dari tanah Israel.”

“Tepi Barat bukan hanya tanah yang diperebutkan. Ia adalah nadi harapan, poros dari pertarungan panjang antara hak dan penjajahan. Saat dunia terus ragu, Israel melangkah pasti, menyegel masa depan Palestina selangkah demi selangkah.”

Sumber: The Times

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here