Perang yang digerakkan Israel di Gaza kian kehilangan arah. Dua media arus utama Israel, Yisrael Hayom dan Haaretz, secara langka sepakat: perang ini telah menjadi konflik tanpa ujung, tanpa tujuan nyata, kecuali melanggengkan ilusi segelintir ekstremis yang memimpikan penghapusan Gaza dari peta dan pengusiran rakyatnya.
Dalam kolomnya, jurnalis Yisrael Hayom Yoav Limor menyebut obsesi akan “kemenangan total” justru menyeret Israel pada perang yang tak berkesudahan. Janji-janji kosong Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan para menterinya bukan hanya mempermalukan diplomasi Israel di panggung dunia, tapi juga menciptakan isolasi global dan kehancuran reputasi.
Israel, tulis Limor, telah kehilangan arah. Dua target utama (memulangkan sandera dan menundukkan Hamas) terbukti tak kunjung tercapai karena absennya strategi yang masuk akal. Netanyahu, terjebak tekanan dari sayap ultranasionalis dalam pemerintahannya, terus menjanjikan “kemenangan penuh”, suatu tujuan absurd yang makin hari makin menjauh.
Ketika Netanyahu berkata bahwa kemenangan hanya tinggal “selangkah lagi”, rakyat Israel justru makin jauh dari realitas kemenangan. Menteri-menterinya tak kalah gegabah: Menteri Keuangan Bezalel Smotrich mengancam mundur jika bantuan kemanusiaan masuk Gaza; Menteri Pertahanan Israel Katz menggertak akan “membuka pintu neraka” jika sandera tak dikembalikan. Tapi nyatanya, bantuan tetap masuk, sandera tetap ditahan. Janji di politik Israel, kata Limor, diciptakan untuk diingkari.
Kemenangan Militer, Kekalahan Diplomatik
Militer Israel boleh jadi telah menghancurkan bangunan dan infrastruktur Gaza, membuat warganya terpuruk dalam kemiskinan dan keputusasaan. Tapi diplomasi Israel berada di titik nadir. Tekanan internasional, terutama dari Eropa dan negara-negara Arab sekutu, memaksa Israel mundur. Namun langkah itu terlalu kecil, terlalu terlambat. Narasi global telah terbentuk: Israel bukan lagi korban, melainkan penindas.
Bahkan generasi muda Partai Republik di AS, yang selama ini dikenal pro-Israel, mulai bergeser. Survei menunjukkan tingkat empati terhadap Palestina yang tinggi. Haaretz mengingatkan, peringatan Ehud Barak satu dekade lalu tentang “tsunami diplomatik” yang dulu ditertawakan, kini menjadi kenyataan.
Namun Haaretz juga membuka secercah peluang: jika Israel serius mengakhiri perang, membebaskan para sandera, dan membentuk otoritas sipil baru di Gaza (yang dikelola koalisi negara-negara Barat dan Arab) maka itu bisa menjadi jalan keluar bermartabat. Bukan hanya untuk menyelamatkan Gaza, tapi juga menyelamatkan Israel dari keruntuhan politik internal dan isolasi global. Tapi harga dari jalan keluar itu adalah runtuhnya pemerintahan Netanyahu.
Jangan Jadi Tentara ke-900
Dalam artikel emosionalnya di Haaretz, Uri Misgav menulis surat terbuka kepada seorang prajurit muda Israel yang kini bertempur di Gaza. Ia memperingatkan: jangan jadi korban berikutnya, tentara ke-900 yang gugur bukan karena membela tanah air, tapi demi ilusi dan ego elite politik.
Perang ini, tulisnya, bukan lagi tentang keamanan atau pertahanan. Ia berubah menjadi mesin pengorbanan demi harga diri politisi, demi mimpi ekstremis yang ingin mengosongkan Gaza. “Jika kau bukan bagian dari mereka, mengapa kau harus mati untuk mereka?” tulis Misgav.
Ia menyindir keras para pemimpin Israel: putra sulung Smotrich, misalnya, selama perang tetap nyaman belajar di sekolah agama, menikah, punya anak, bahkan menang undian tanah. Sementara sang prajurit terjebak dalam lumpur dan peluru.
“Kenapa kau harus mati demi mereka? Hidupmu masih panjang. Jangan jadi angka ke-900. Pulanglah.”
Misgav menutup pesannya dengan nada lirih namun tajam: “Kau bukan mesin perang. Kau anak muda yang lelah, penuh luka dan gigitan kutu, lapar dan rindu air hangat. Musuhmu tidak tampak. Kau hanya akan jadi korban berikutnya dari perang yang bahkan tidak tahu untuk apa ia dilanjutkan.”
Sumber: Haaretz, Yisrael Hayom