Richard Falk, Ketua Gaza Tribunal Initiative (Inisiatif Pengadilan Gaza), menegaskan bahwa waktunya telah tiba bagi dunia untuk bersikap tegas menuntut pertanggungjawaban Israel atas kejahatan yang dilakukan terhadap rakyat Palestina.
Pernyataan itu ia sampaikan dalam pidato pembuka pada sesi penutupan Pengadilan Gaza, sebuah pengadilan simbolik internasional yang digelar di Istanbul, Turki, Kamis (23/10). Pengadilan ini akan mengumumkan keputusan finalnya pada Ahad (26/10).
Pengadilan dari Kegagalan Dunia
Pengadilan Gaza dibentuk di London pada November 2024 oleh akademisi, budayawan, pegiat HAM, dan perwakilan organisasi masyarakat sipil dari berbagai negara. Tujuannya sederhana tapi penting: mendesak keadilan ketika komunitas internasional gagal menegakkan hukum di Gaza.
Falk, yang juga mantan Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di Palestina, menilai pelanggaran berulang Israel terhadap gencatan senjata menunjukkan “bahwa Israel tidak pernah benar-benar menginginkan perdamaian.”
Ia berharap sidang pengadilan ini bisa mengungkap bukan hanya apa yang terjadi di masa lalu, tapi juga kekejaman yang terus berlangsung hingga kini.
Para Juri dan Suara Nurani Dunia
Majelis juri Pengadilan Gaza terdiri dari tokoh-tokoh internasional lintas disiplin: jurnalis dan penulis Prancis Kenza Mourad, akademisi Palestina Ghada Karmi, politolog Malaysia sekaligus Ketua Just International Movement Chandra Muzaffar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Kenya Willy Mutunga, aktivis Freedom Flotilla Tiago Avila, akademisi Sami Al-Arian, penyair Palestina Tamim Al-Barghouti, dan pakar hukum internasional Christine Chinkin.
Bagi Falk, kehadiran mereka bukan sekadar simbol solidaritas moral, melainkan bentuk perlawanan terhadap pembungkaman dan manipulasi narasi oleh Israel.
“Inilah saatnya menuntut pertanggungjawaban Israel atas kejahatannya,” tegas Falk. “Inilah saatnya membongkar kemunafikan moral para pihak yang selama ini mendukung genosida berkepanjangan terhadap rakyat yang tak berdaya.”
Perlawanan Melawan Lupa
Falk menolak pandangan bahwa tragedi Gaza sudah berlalu. Menurutnya, genosida yang terjadi bukan bab masa lalu, melainkan krisis sejarah yang masih berlangsung.
“Para penyintas di Gaza masih menderita setiap hari,” ujarnya. “Mereka hidup dalam pengungsian, kelaparan, penyakit, dan luka. Mereka menanggung kehilangan, kebingungan, dan kekerasan yang terus datang dari pihak pendudukan.”
Ia juga menyoroti tujuan politik Israel yang masih berpusat pada pencaplokan tanah Palestina dan ambisi membentuk Israel Raya.
“Tidak ada mekanisme yang benar-benar mampu menuntut Israel. Ironisnya, para pelaku genosida dan pendukungnya kini justru tampil sebagai ‘duta perdamaian,’ sementara dunia tertegun dalam diam,” kata Falk.
Tribunal sebagai Bentuk Perlawanan Sosial
Menurut penyelenggara, Pengadilan Gaza bukan sekadar ruang hukum simbolik, melainkan bentuk perlawanan sosial terhadap propaganda dan distorsi media arus utama.
Sidang pertama digelar di London, kemudian dilanjutkan dengan sesi publik di Sarajevo, Bosnia, pada Mei lalu. Di setiap kota, akademisi, jurnalis, dan aktivis HAM memberikan kesaksian dan bukti tentang pembunuhan massal, penghancuran infrastruktur sipil, serta keterlibatan sistem internasional dalam membiarkan kejahatan ini berlangsung.
Sidang di Istanbul akan diikuti pula oleh serangkaian acara publik untuk menyoroti pembantaian yang masih terjadi di Gaza. Sepanjang sesi, panitia akan menampilkan kesaksian, dokumen, dan analisis hukum yang memperlihatkan skala tragedi kemanusiaan tersebut.
Keputusan akhir Pengadilan Gaza dijadwalkan diumumkan pada 26 Oktober 2025.










