Di balik topeng “respon kemanusiaan” yang diumumkan Israel pada Sabtu malam lalu, tersembunyi satu kenyataan pahit: kelaparan masih dijadikan senjata. Sejak deklarasi tersebut, Israel hanya mengizinkan masuknya 15% dari total kebutuhan pangan dasar penduduk Gaza.
Dalam empat hari terakhir, 381 truk bantuan berhasil menembus blokade, sebagian lainnya dijatuhkan lewat udara. Tapi data ini hanya mengaburkan fakta: Gaza butuh 600 truk setiap hari untuk bertahan hidup. Artinya, lebih dari 85% kebutuhan rakyat Gaza diabaikan.
“Israel terus menyebarkan narasi palsu seolah-olah tidak ada kelaparan di Gaza, padahal mereka dengan sengaja menghalangi masuknya bantuan, dan membiarkan kekacauan terjadi di lapangan,” ujar Ismail Ats-Tsawwabitah, Kepala Kantor Media Pemerintah Gaza, kepada Al Jazeera Net.
Truk bantuan yang dibiarkan masuk sering kali ditargetkan. Pada Senin lalu, misalnya, 87 truk terpaksa ditolak masuk karena Israel menyerang para penjaga lokal dari klan dan keluarga Palestina, menewaskan 11 orang di daerah as-Sudaniyah, barat laut Gaza.
Ironisnya, dalam waktu yang hampir bersamaan dengan alur truk bantuan itu, ratusan warga yang tengah mengantre makanan justru menjadi korban tembakan. Dari awal pekan ini hingga Kamis siang, 1320 warga Palestina gugur, sebagian besar karena ditembak saat menunggu bantuan di pusat distribusi.
Pada Rabu kemarin saja, 60 orang syahid dan 195 lainnya luka-luka, hanya karena berharap bisa mendapatkan sedikit makanan. Data Kementerian Kesehatan Gaza juga menunjukkan bahwa dalam dua bulan terakhir, angka kematian di lokasi distribusi bantuan melonjak: 581 orang pada Juni, dan 739 orang pada Juli.
Ats-Tsawwabitah menegaskan bahwa semua ini adalah bagian dari strategi Israel untuk mengelabui dunia, menciptakan ilusi bahwa bantuan terus mengalir, padahal yang terjadi adalah sebaliknya: pembiaran kelaparan secara sistematis, dan bahkan penargetan langsung terhadap rakyat yang kelaparan.
“Seluruh upaya untuk membatasi bantuan melalui lembaga internasional hanyalah debu di mata. Realitasnya: penderitaan makin dalam, kelaparan makin parah, dan rakyat Gaza dibiarkan sekarat,” katanya dengan nada geram.
Lembaga-lembaga kemanusiaan seperti UNRWA pun angkat suara. Juliette Touma, Kepala Komunikasi UNRWA, menyebut bahwa dropping udara adalah cara yang tidak manusiawi dan tidak efektif. Ia mendesak agar semua bantuan dikirim melalui jalur darat yang aman, dengan pengawasan penuh dari PBB.
“Jika perbatasan dibuka, PBB dapat mengirim hingga 600 truk setiap hari, penuh dengan makanan, obat-obatan, dan perlengkapan darurat,” tegasnya.
Tapi hingga hari ini, Israel tetap memilih membiarkan Gaza lapar. Membiarkan rakyatnya mati satu per satu. Dan dunia? Dunia belum cukup marah.