“Saya hanya ingin tidur semalam dalam keadaan kenyang,” kata Muhammad Falana, merangkum penderitaan hidup di dalam penjara Israel yang semakin memburuk setelah perang di Gaza meletus pasca Operasi “Taufan Al-Aqsa” pada 7 Oktober 2023.
Falana (60), warga Ramallah di Tepi Barat, termasuk di antara tawanan yang diasingkan ke Gaza dan dibebaskan dalam tahap pertama pertukaran tawanan dengan pejuang Palestina dalam kesepakatan gencatan senjata.
Dia dipenjara saat masih muda dengan hukuman seumur hidup dan baru keluar dengan rambut yang telah memutih.
“Semua tahun-tahun di penjara dengan penderitaan, kesakitan, dan perpisahan dari keluarga, masih lebih ringan dibandingkan dengan apa yang kami alami selama bulan-bulan perang di Gaza, termasuk Ramadan tahun lalu,” katanya kepada Al Jazeera.
Penyiksaan Melalui Kelaparan
Selama 15 bulan perang di Gaza, kehidupan di penjara Israel “serasa potongan neraka,” ujar Falana.
“Ramadan datang, tapi tanpa belas kasihan. Musuh ini tidak mengenal rahmat. Mereka menggandakan penyiksaan kami. Saya hanya berharap bisa tidur satu malam saja dalam keadaan kenyang selama bulan-bulan perang.”
Selama 34 Ramadan di dalam penjara, Falana tidak pernah merasakan penderitaan sebesar yang dialaminya tahun lalu.
“Kami para tawanan tidak luput dari perang ini. Kami mengalami berbagai bentuk penyiksaan fisik dan psikologis,” ungkapnya.
Kondisi penjara berubah drastis setelah 7 Oktober. Israel memperlakukan para tawanan seolah merekalah yang melakukan Operasi Taufan Al-Aqsa.
Selama bertahun-tahun di penjara, Falana ikut serta dalam aksi mogok makan dan protes untuk mendapatkan hak-hak dasar. Namun, setelah perang di Gaza, semua hak itu dirampas. Israel menyita selimut, pakaian, hingga sendok makan. Banyak tawanan tidur di lantai tanpa alas.
Sebelum perang, para tawanan memiliki tradisi Ramadan. Mereka diizinkan keluar ke halaman penjara sejak pagi hingga menjelang Magrib, lalu menyiapkan makanan berbuka dengan membeli bahan makanan dari kantin penjara dengan harga yang sangat mahal.
“Saat matahari terbenam, kami masuk ke kamar yang diisi enam orang, menggelar hidangan berbuka, shalat tarawih, dan membaca Al-Qur’an,” kenangnya.
Namun setelah perang, semuanya berubah. “Mereka melarang kami melakukan itu semua, bahkan mushaf Al-Qur’an pun mereka ambil dari sel,” ujarnya dengan suara lirih.
Ramadan yang Mencekam
Setelah perang di Gaza, Israel memberi kebebasan penuh kepada otoritas penjara untuk menyiksa para tawanan dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Saat Ramadan tiba, penyiksaan semakin meningkat. Makanan berbuka sering sengaja ditunda hingga dua jam atau lebih setelah waktu berbuka.
Ketika ditanya bagaimana menu buka puasa di dalam penjara, Falana menjawab dengan nada penuh duka dan kemarahan, “Itu bukan makanan. Itu hanyalah sesuatu yang tidak layak disebut makanan bagi manusia. Jumlahnya sangat sedikit dan sering tidak dimasak dengan baik.”
Falana kehilangan sekitar 30 kilogram berat badannya selama perang di Gaza. Tawanan lain, seperti Dhiya Al-Agha—yang dikenal sebagai “Tahanan Senior Gaza” setelah menjalani 33 tahun di penjara—juga mengalami penurunan berat badan yang drastis.
“Setiap tawanan kehilangan antara 30 hingga 50 kilogram akibat kebijakan kelaparan yang diterapkan oleh otoritas penjara,” katanya.
Al-Agha, yang dibebaskan pekan lalu, sepakat bahwa Ramadan tahun lalu adalah yang terberat.
“Israel menggunakan berbagai metode penyiksaan terhadap kami, mulai dari serangan mendadak ke sel, pemukulan brutal, hingga pembatasan makanan, minuman, dan bahkan mandi,” ungkapnya.
Pada malam Idul Fitri, Falana mengenang bagaimana pasukan khusus Israel menyerbu selnya, memborgol mereka dari belakang, lalu memukuli mereka sambil tertawa dan mengejek.
“Begitulah cara mereka ‘merayakan’ Idul Fitri. ‘Selamat Hari Raya,’ kata mereka dengan tawa kejam,” kenangnya.
Kenangan Ramadan yang Menyayat HatiTahanan yang dibebaskan dan diasingkan ke Gaza, Ismail Al-Radaida, mengatakan bahwa para tawanan Palestina hidup dengan harapan kebebasan.
“Jika kami menyerah pada keputusasaan, maka kami akan menjadi seperti mayat hidup di dalam kuburan penjara,” katanya.
Dengan senyum pahit, Al-Radaida mengenang kebiasaannya menatap dinding selnya di Penjara Ramon dan membayangkannya sebagai sepiring daun anggur isi (dolma), makanan favoritnya yang biasa disiapkan ibunya saat Ramadan.
Namun, ibunya wafat saat ia masih di penjara, tanpa ia sempat mengucapkan selamat tinggal.
Selama 25 tahun menjalani hukuman seumur hidup, hal yang paling ia rindukan di bulan Ramadan adalah berkumpul bersama keluarga.
“Ramadan adalah bulan terberat bagi kami di penjara. Kenangan masa kecil dan kebersamaan keluarga di meja iftar terasa semakin menyakitkan,” ujarnya.
Sebelum perang, para tawanan sudah terbiasa dengan Ramadan di penjara. Namun, Ramadan tahun lalu benar-benar kejam.
“Kami berpuasa sepanjang hari, tapi berbuka tanpa cukup makanan karena kebijakan kelaparan. Sel kami selalu gelap, jumlah tawanan dalam satu sel bertambah dari enam menjadi 12 orang atau lebih, dan semua fasilitas dasar seperti mushaf, kasur, dan peralatan makan telah disita,” jelasnya.
Pelanggaran Hak Asasi yang Sistematis
Abdul Nasser Farwana, Direktur Dokumentasi di Komisi Urusan Tawanan Palestina, mengatakan bahwa Israel tidak menghormati kesucian Ramadan dan secara sistematis membatasi kebebasan beribadah para tawanan.
“Mereka melarang pembacaan Al-Qur’an secara lantang dan membatasi shalat berjamaah,” ujarnya.
Menurut Farwana, penderitaan tawanan Palestina semakin berat setelah 7 Oktober. Ia memperkirakan bahwa Ramadan tahun ini akan lebih mengerikan, mengingat meningkatnya hasutan Israel terhadap para tawanan.
Saat ini, kunjungan keluarga telah dihentikan, akses pengacara dibatasi, dan Komite Palang Merah Internasional tidak diizinkan mengunjungi penjara.
Israel juga menolak memberikan data jumlah tawanan asal Gaza, sehingga ribuan dari mereka masuk dalam kategori “hilang secara paksa.”
Sumber: Al Jazeera