Di tanah Jabalia, meskipun ada kesepakatan gencatan senjata, pertempuran yang tidak mengenal jeda terus berlangsung. Di sini, kehidupan dan kematian berebut setiap jengkal tanah. Api semangat bertahan hidup tak pernah padam di antara penduduk kamp pengungsi, yang berdiri menghadapi kehancuran bukan sebagai korban, tetapi sebagai pejuang yang mengibarkan panji kehidupan di tengah reruntuhan. Mereka tidak tunduk pada abu yang mencoba menutupi cakrawala, juga tidak menyerah pada upaya pendudukan untuk menghapus keberadaan mereka.
Dari kejauhan, sebelum mencapai lokasi, terlihat jelas deretan bendera Palestina yang berkibar di atas puing-puing rumah dan di puncak tenda-tenda. Bendera-bendera itu berkibar di jalan-jalan dan gedung-gedung yang penuh dengan bekas peluru, sebagaimana digambarkan oleh seorang penduduk kamp Jabalia. “Ini adalah pengingat bagi mereka yang kembali bahwa Palestina pantas diperjuangkan dan tetap hidup di hati kita, tidak peduli seberapa keras mereka berusaha menghapusnya,” kata mereka dengan suara bulat.
Pasar Pascaperang
Di tengah kehancuran di pusat kamp, para penduduk yang kembali membangun pasar untuk memenuhi kebutuhan mereka. Di antara genangan lumpur akibat sistem drainase yang hancur, para pedagang menggelar lapak-lapak sayur dan bahan makanan di atas meja tinggi untuk menghindari air kotor.
Di sisi lain, terdapat banyak lapak yang menjual sepatu bekas dan pakaian secondhand. Piring dan peralatan rumah tangga yang diselamatkan dari reruntuhan rumah juga dijual dengan harga murah, dan orang-orang mengerumuninya untuk membeli.
Dengan celana tergulung, Khalil Umar berdiri di depan lapak makanan kalengan, kakinya terendam air. Ia berteriak, “6 kaleng tuna seharga 10 shekel!” Seorang wanita di hadapannya membeli beberapa kaleng dan berbisik, “Sebulan lalu, satu kaleng ini harganya 20 shekel.” Wanita lain yang bersamanya menimpali, “Inilah satu-satunya yang berubah sejak perang, pasar penuh makanan, mi instan, dan cokelat. Selain itu, perang tak mengubah apa pun.”
Khalil mengatakan bahwa ia membawa barang dagangannya dari daerah “Jabalia Balad” dan berjalan ke kamp untuk menjualnya di daerah yang hancur ini. “Orang-orang di sini membutuhkan segalanya untuk bertahan hidup. Pasar terus berkembang setiap hari, dan kehidupan mulai kembali, meskipun dalam bentuk yang paling sederhana,” ujarnya.
Janji yang Terlupakan
Orang-orang tidur di jalan dan di antara reruntuhan rumah. Begitulah pemandangan yang Al Jazeera Net temukan mengenai tempat tinggal mereka yang kembali ke rumah-rumah yang telah hancur. Sebagian dari mereka membawa tenda saat mengungsi ke selatan Gaza. Mayoritas lainnya, yang sebelumnya tinggal di pusat-pusat penampungan di Kota Gaza, mengumpulkan kain bekas dari reruntuhan rumah mereka dan menjadikannya tenda yang tak mampu melindungi dari dingin.
Di atas kasur lusuh di dekat reruntuhan rumahnya, tak jauh dari pasar Jabalia, Abu Muhammad Shalail berbaring. Ia meminta maaf karena tidak bisa duduk tegak; tubuhnya tak mampu membungkuk akibat luka di perutnya. Lukanya semakin parah setelah ia terjebak selama dua bulan di Rumah Sakit Al-Awda. Luka itu membusuk dan mengeluarkan nanah, dan hingga kini ia masih menderita akibatnya.
“Saya hidup dalam keterkejutan, sulit memahami apa yang terjadi. Saya terus melihat sekeliling untuk menyadari apa yang menimpa Jabalia dan bagaimana hidup kami berubah total,” katanya. Ia telah memasang tiang-tiang besi yang ia ambil dari puing-puing, tetapi masih menunggu tenda atau terpal.
“Saya kembali ke Jabalia begitu tentara Israel mundur, dan sejak saat itu, tak ada seorang pun yang memberikan bantuan kepada kami,” katanya dengan nada penuh keputusasaan. “Mengapa tak ada yang peduli pada kami, para tunawisma ini? Di mana janji-janji mereka tentang pengiriman rumah kontainer dan rekonstruksi yang selalu mereka bicarakan?”
Seharusnya, Abu Muhammad rutin pergi ke Rumah Sakit Asy-Syifa untuk pemeriksaan dan perawatan luka, tetapi ia tidak bisa karena tak ada transportasi dan harus berjalan berjam-jam.
Ia memandangi rumahnya yang kini rata dengan tanah, yang dulunya memiliki lima lantai, dan berkata dengan suara penuh kesedihan, “Impian terbesar saya sekarang hanyalah bisa tidur dengan tenang, tanpa harus dihantui ketakutan akan keselamatan kelima anak saya, yang kini hidup dalam kondisi yang bahkan tidak layak bagi hewan.”
Sebelum menyelesaikan perkataannya, ia memanggil anaknya dan memperlihatkan kakinya. “Seekor anjing menyerangnya saat ia tidur. Saya harus memukulnya dengan batang besi agar melepaskan gigitannya,” katanya dengan penuh kepedihan. “Lalu kalian bertanya bagaimana keadaan saya?”
Anak-anak yang Dewasa Sebelum Waktunya
Di seberang rumah Abu Muhammad, terdapat tanah kosong yang dulunya adalah lahan pertanian sebelum dihancurkan oleh buldoser Israel. Di sana, anak-anak kecil bermain. Ketika ditanya oleh Al Jazeera Net, “Apa yang kalian lakukan?” mereka menjawab, “Kami menggali terowongan,” lalu tertawa lepas.
Ketika ditanya apakah mereka senang tinggal di tempat yang hancur ini, jawaban mereka jauh lebih dewasa dari usia mereka. Salah satu dari mereka berkata, “Bagaimanapun bentuknya, kami melihatnya sebagai surga.” Yang lain menimpali, “Tanah air itu seperti anak sendiri, tak ada yang lebih berharga darinya.” Seorang anak ketiga menambahkan, “Cinta kami pada Jabalia mengalir dalam darah kami, begitu kata ayahku!”
“Ini bukan anak-anak,” kata seorang wanita dari kejauhan sambil duduk di depan api unggun kecil. Ketika didekati, ia mengungkapkan kesedihannya atas nasib anak-anaknya. “Tidak ada pendidikan, tidak ada sekolah, tidak ada masa depan, tidak ada harapan,” kata Sanaa Ahmad, ibu lima anak.
“Mereka menghabiskan hari-hari mereka di jalan, mengumpulkan kayu bakar, atau mencari sesuatu yang bisa dimanfaatkan dari reruntuhan rumah,” lanjutnya. “Bahkan untuk mendapatkan air, mereka harus mengantre lama dan minum dari sumur yang airnya bercampur pasir!”
Hidup di Atas Reruntuhan
Pemandangan tenda-tenda yang berdiri di atas puing-puing rumah sudah menjadi hal biasa. Banyak orang membuka kembali usaha mereka dalam skala kecil. Apotek “Jouri,” yang telah dihancurkan oleh pasukan Israel, kini kembali beroperasi dengan atap plastik. Pelanggan lama datang karena masih mengenali namanya.
Di sisi lain, ada toko emas yang kembali dibuka, serta lapak-lapak pengisian daya baterai dan ponsel menggunakan panel surya. Semua ini adalah upaya untuk menciptakan kehidupan normal di tempat yang jauh dari kata normal.
Banyak warga yang kembali ke Jabalia terpaksa bermalam di sekolah-sekolah pengungsian yang kini hanya tersisa tiang-tiangnya. Mereka menutup celah-celah dengan plastik atau kain dan tidur di sana.
Di salah satu sekolah yang hampir hancur, ratusan orang tinggal di antara dinding-dinding yang penuh bekas peluru. “Yang penting adalah tetap berada di Jabalia, meskipun harus tinggal di kandang ayam,” ujar seorang pengungsi.
Begitu pula dengan Umm Ghazal Aliyan, yang kembali ke Jabalia setelah setahun mengungsi di selatan Gaza. “Dinding adalah anugerah. Menemukan sesuatu untuk bersandar setelah seharian lelah adalah berkah,” katanya.
Meskipun hidup dalam kesulitan, Umm Ghazal tetap bertahan, terutama demi keempat putrinya. Namun, yang paling menyulitkannya adalah mencari air. Ia dan anak-anaknya harus berjalan jauh sambil membawa jeriken untuk mengisi air dari sumur yang jauh.
Sumber: Al Jazeera