Amerika Serikat berkali-kali mengingatkan, mengecam, bahkan menekan Israel agar tidak melakukan pencaplokan wilayah Tepi Barat. Washington menegaskan, setiap langkah ke arah itu (baik lewat undang-undang maupun deklarasi sepihak) akan melewati “garis merah”. Namun pertanyaannya, seberapa jauh penolakan itu benar-benar mengubah realitas di lapangan?
Pertanyaan inilah yang diajukan jurnalis Haaretz, Jack Khoury, dalam analisisnya berjudul “Paradoks Trump: Menolak Pencaplokan Tepi Barat dalam Kata, tapi Membiarkannya Terjadi dalam Perbuatan.”
Tulisan itu menyoroti kontradiksi mendasar dalam kebijakan Timur Tengah pemerintahan Donald Trump.
Khoury menulis, baik Trump maupun Menteri Luar Negerinya, Marco Rubio, memang berulang kali memperingatkan Israel agar tidak mencaplok Tepi Barat secara resmi. Pernyataan mereka sempat menciptakan kesan bahwa AS memegang prinsip moral tertentu.
Namun di balik retorika itu, kebijakan nyata Washington justru membuka ruang bagi Israel untuk memperluas kendali atas tanah Palestina tanpa batas dan tanpa konsekuensi.
Pencaplokan yang Tak Lagi Sekadar Ancaman
Di lapangan, realitas sudah jauh melampaui pernyataan politik. Kehidupan rakyat Palestina kini terhimpit ratusan pos pemeriksaan dan gerbang keamanan Israel, disertai kekerasan rutin dari kelompok pemukim Yahudi, terutama saat musim panen zaitun.
Serangan-serangan itu tak hanya menghancurkan pohon dan harta benda, tapi juga dilakukan “dengan pengawalan atau pembiaran dari pasukan keamanan Israel.” Inilah yang disebut Khoury sebagai bentuk “pencaplokan de facto”, pencaplokan yang berjalan diam-diam, tanpa perlu deklarasi resmi.
Tanpa sidang di Knesset, tanpa pengumuman politik, Israel terus memperketat cengkeramannya di Tepi Barat. “Semua ini,” tulis Khoury, “berlangsung dalam sistem yang menyerupai apartheid, memisahkan, menguasai, dan menindas dengan dalih keamanan.”
Paradoks Politik Trump
Trump kerap memamerkan sikap “menentang pencaplokan resmi”, namun di saat yang sama membiarkan semua hal lain berjalan tanpa batas.
Israel, kata Khoury, menikmati “kebebasan penuh” untuk menentukan kehidupan rakyat Palestina—mulai dari menahan dana pajak milik Otoritas Palestina, hingga menggagalkan setiap upaya negosiasi damai.
Dengan membiarkan semua itu terjadi, Washington secara tidak langsung memberikan legitimasi atas ekspansi Israel.
Menurut Khoury, inilah paradoks kebijakan Trump: menentang secara simbolik, tapi pasif secara politik.
AS mungkin menolak satu undang-undang pencaplokan, tapi tetap “menyalakan lampu hijau” untuk seluruh kebijakan lain yang memperkuat pendudukan.
“Tak Perlu Undang-Undang untuk Menamai yang Sudah Terjadi”
Khoury menegaskan, menghentikan pencaplokan sejati butuh langkah konkret, seperti mencairkan dana pajak Palestina yang dibekukan, menghentikan pembangunan permukiman baru, dan membuka kembali jalur diplomatik, termasuk konsulat AS di Al-Quds Timur serta kantor PLO di Washington.
Namun langkah-langkah dasar itu kini terasa seperti “mimpi jauh bagi rakyat Palestina.”
Sementara itu, jurang antara ucapan AS dan kenyataan lapangan makin lebar. Peta Tepi Barat terus berubah (bukit demi bukit, jalan demi jalan) sementara Washington memilih diam di balik istilah “status quo.”
Di akhir tulisannya, Khoury menyimpulkan, “Washington bisa saja berbangga menolak pencaplokan. Tapi di lapangan, Israel telah melakukannya, terlihat di setiap gerbang yang tertutup, setiap pohon zaitun yang tercabut, dan setiap desa Palestina yang terputus atas nama keamanan.”










