Meski perang di Gaza telah mencapai titik maksimalnya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (yang kini menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional) gagal mengubah agresi militer menjadi keuntungan politik. Demikian penilaian analis militer senior, Brigadir Jenderal (Purn.) Elyas Hanna.
Sebelumnya pada Rabu (278/5), Netanyahu berpidato di depan parlemen Israel (Knesset) dalam sebuah sidang yang berlangsung panas dan ricuh. Di sana, ia mengklaim bahwa pemerintahannya telah mencetak “prestasi besar” pasca 7 Oktober 2023, meskipun pernyataannya disambut kecaman keras dari oposisi.
Netanyahu membanggakan bahwa Israel telah mengubah wajah Timur Tengah dan meraih keberhasilan di berbagai front, termasuk Gaza, Lebanon, Suriah, dan wilayah lainnya—klaim yang langsung dibantah oleh Hanna dalam ulasannya di Al Jazeera.
Menurut Hanna, pernyataan Netanyahu tidak berdasar. Ia menegaskan bahwa Israel gagal menghancurkan perlawanan di Gaza dan bahkan tidak mampu memaksa para pejuang Palestina untuk menyerahkan senjata. Apalagi, menurutnya, realitas di lapangan sama sekali tidak mencerminkan perubahan signifikan seperti yang digembar-gemborkan Netanyahu.
Hanna juga menegaskan, kemenangan sejati hanya bisa diukur dari pencapaian tujuan politik, bukan sekadar operasi militer. Meski Gaza dihancurkan dan puluhan ribu warga sipil dibunuh, Netanyahu belum mencapai satu pun target strategisnya.
Lebih jauh, Hanna mengatakan bahwa Netanyahu tidak bisa mengklaim telah memusnahkan perlawanan Palestina. Perbedaan medan tempur di Gaza dibanding Lebanon atau Suriah membuat strategi militer Israel terbentur batas maksimalnya. Selama dua tahun terakhir, Tel Aviv telah mengerahkan semua metode tempur—dari serangan langsung, operasi darat besar-besaran, hingga taktik pencegahan—tetapi tetap gagal mencapai hasil yang menentukan.
Di awal serangan, Israel melakukan penyusupan pasukan elite, lalu melanjutkan dengan serangan yang menyasar warga sipil ketimbang menghantam kekuatan militer perlawanan. Namun setelah 20 bulan perang, kekuatan pejuang Palestina tetap bertahan, bahkan memperkuat posisi mereka.
Hanna menyebut, saat perang melewati ambang maksimal, dampaknya justru menjadi bumerang bagi tentara penyerang. Inilah yang kini terjadi pada militer Israel, yang menghadapi penolakan publik dan tekanan politik internal karena operasi militer dianggap hanya melayani kepentingan politik Netanyahu.
Ia juga mengungkapkan bahwa struktur perlawanan di Gaza kini memiliki sistem bertingkat, termasuk jaringan terowongan bawah tanah yang digunakan untuk menyembunyikan para komandan dan melancarkan serangan kilat. Berbeda dengan terowongan di Vietnam yang bersifat defensif, terowongan Gaza dirancang untuk menyerang.
Saking efektifnya, taktik perlawanan ini kini bahkan dipelajari oleh militer dari berbagai negara, termasuk Israel sendiri, untuk memahami karakteristik baru dalam peperangan urban.
Aksi Perlawanan Berlanjut
Pada hari yang sama, Brigade Al-Qassam—sayap militer Hamas—merilis rekaman video yang memperlihatkan serangan terhadap pasukan dan kendaraan militer Israel di Beit Lahiya, Gaza utara. Serangan ini merupakan bagian dari operasi bertajuk “Hajar Daud”.
Dalam video tersebut, pejuang Al-Qassam menembakkan roket anti-tank “Yasin 105” ke arah tank Merkava, menyebabkan kobaran api besar di dalam kendaraan tempur tersebut. Serangan lain juga diarahkan ke sebuah rumah yang digunakan pasukan Israel sebagai tempat berlindung, menggunakan proyektil anti-personel.
Dua hari sebelumnya, Al-Qassam juga mengumumkan telah menyerang dua tank Israel dengan senjata yang sama di daerah Aslan, Beit Lahiya, pada 24 Mei.
Mereka juga melaporkan keberhasilan menyerang unit Israel yang bersembunyi di sebuah rumah di daerah Qar’ah Khamsah, juga di Beit Lahiya, dengan senjata anti-personel.
Sumber: Al Jazeera