Pasukan Israel telah membunuh 1.309 warga Palestina dan melukai sekitar 3.200 lainnya sejak kembali melancarkan serangan ke Gaza pada 18 Maret lalu. Rata-rata, 69 warga sipil syahid setiap harinya, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak.

Para pakar dan lembaga hak asasi manusia menilai, fase terbaru ini merupakan babak paling brutal dan berdarah dari keseluruhan perang sejak agresi dimulai pada 7 Oktober 2023. Mereka menyebut serangan kali ini sebagai bentuk pembantaian massal yang dilakukan dengan senjata berdaya rusak tinggi, ditujukan ke rumah-rumah warga, tenda pengungsian, dan fasilitas sipil lainnya.

Gaza Jadi Laboratorium Senjata

Dokter forensik Gaza, dr. Khalil Hamadeh, mengatakan Israel menggunakan bom berat jenis MK-84 buatan Amerika Serikat seberat 1.000 kilogram.

Bom ini biasanya dipakai untuk menghancurkan bunker bawah tanah, tetapi kini dijatuhkan ke kawasan padat penduduk. Ledakan bom tersebut menyebabkan kerusakan dahsyat dengan radius hingga 100 meter dari titik serangan.

Hamadeh menyebut, banyak jenazah korban yang tiba di rumah sakit tanpa luka luar, namun meninggal akibat kerusakan jaringan otak dan organ dalam akibat tekanan ledakan. Ada pula korban yang tubuhnya hancur atau bahkan hilang sama sekali.

Lebih parah lagi, korban selamat kerap hanya bertahan sementara waktu karena kurangnya obat-obatan dan alat medis. Sebagian lainnya mengalami cacat seumur hidup akibat luka bakar atau cedera serius.

Senjata Dilarang dan Strategi Pemusnahan

Pihak otoritas Gaza menilai Israel secara sistematis menggunakan senjata terlarang internasional.

Direktur Kantor Media Pemerintah, Ismail al-Thawabteh, menegaskan bahwa selama dua pekan terakhir, Israel menyerang permukiman, sekolah, rumah sakit, bahkan tim medis dan relawan kemanusiaan.

Dia menyebutkan, Israel menggunakan bom tandan, bom kimia, dan senjata pemusnah massal dalam skala besar.

Selain menyebabkan kehancuran infrastruktur, senjata itu juga menimbulkan luka parah bagi warga sipil yang selamat.

“Tujuannya bukan hanya menghancurkan bangunan, tetapi juga memusnahkan manusia Palestina dan menjadikan Gaza tak layak huni,” kata al-Thawabteh.

Peran Amerika dalam Agresi

Di tengah gelombang pembantaian, dokumen yang terungkap menyebutkan bahwa pemerintahan Donald Trump kembali menyetujui penjualan lebih dari 20.000 senapan serbu ke Israel. Penjualan senjata ini sebelumnya sempat ditangguhkan oleh pemerintahan Biden karena khawatir akan disalahgunakan oleh pemukim ekstremis Israel.

Namun, sejak kembali menjabat pada Januari lalu, Trump membatalkan sanksi terhadap pemukim Israel dan mengakselerasi pengiriman senjata bernilai miliaran dolar ke Tel Aviv. Terbaru, Senat AS juga menolak dua usulan untuk menghentikan penjualan senjata senilai 8,8 miliar dolar AS, termasuk bom penghancur besar.

Israel Tak Pernah Diawasi

Ketua Lembaga Internasional Pembela Hak Rakyat Palestina, Dr. Salah Abdel Ati, menyatakan Israel menjadikan Gaza sebagai tempat uji coba senjata, baik yang dibeli dari AS maupun buatan industrinya sendiri. Ia menyebut praktik ini sudah berlangsung sejak perang-perang sebelumnya, namun kini mencapai tingkat kehancuran yang belum pernah terjadi.

“Israel memanfaatkan perang ini untuk mengembangkan industri senjatanya, tanpa pengawasan hukum internasional,” tegasnya.

Ia juga menyebut bahwa penggunaan bom termobarik, senjata kejut, dan bahan kimia berbahaya telah menghancurkan kawasan padat penduduk hingga menyebabkan korban tewas yang tubuhnya menguap dan tak tersisa.

Amerika Turut Bertanggung JawabAl-Thawabteh menegaskan bahwa dukungan senjata dari AS memperparah kejahatan perang Israel. Ia menyinggung kasus pembantaian tim medis di Rafah sebagai bukti bahwa senjata itu digunakan bukan hanya untuk melawan pejuang Palestina, melainkan juga membunuh warga sipil dan tenaga kemanusiaan.

“Ini adalah bentuk keterlibatan langsung Amerika dalam agresi terhadap rakyat Palestina, dan mereka harus bertanggung jawab atas dampak kemanusiaan yang ditimbulkan,” ujarnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here