Sejumlah analis menilai kecil kemungkinan tercapainya kesepakatan gencatan senjata dalam waktu dekat di Gaza. Namun, mereka membuka kemungkinan bahwa Israel akan melonggarkan masuknya bantuan kemanusiaan guna meredam tekanan internasional yang semakin meningkat.

Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Qatar, Syekh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, menyebut negaranya tengah mengupayakan kesepakatan baru bersama Amerika Serikat dan Mesir. Namun ia menuding pihak Israel sebagai penghambat utama dalam upaya-upaya sebelumnya.

Sementara itu, Washington juga menyatakan tengah mendorong tercapainya kesepakatan pertukaran tawanan baru. Media Axios melaporkan bahwa mantan Presiden AS Donald Trump sempat membahas wacana gencatan senjata dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

Meski ada upaya dari pihak AS untuk melakukan terobosan, media Israel mengabarkan akan adanya pembahasan baru dalam pekan ini.

Perselisihan Internal Israel

Axios juga mengungkap bahwa Netanyahu masih “ragu-ragu” untuk mengakhiri perang. Bahkan, dalam rapat kabinet keamanan terakhir, terjadi ketegangan yang memicu adu argumen soal strategi perang dan peluang kesepakatan damai.

Mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS, Thomas Warrick, menyebut saat ini peluang keberhasilan lebih besar dibanding beberapa pekan lalu. Namun, ia memperkirakan kesepakatan baru akan memakan waktu berbulan-bulan, bukan hitungan hari.

Dalam wawancaranya di program Path of Events, Warrick menyebut pernyataan dari beberapa pihak belakangan ini membuka jalan bagi Qatar untuk mengajukan proposal baru yang mungkin bisa diterima. Tapi ia tidak berharap banyak sebelum kunjungan Trump ke kawasan Teluk bulan depan.

Isu Perlucutan Senjata Hamas

Warrick menyatakan, penghalang utama kesepakatan adalah sikap Israel yang tak akan menerima solusi apa pun tanpa pelucutan senjata Hamas. Israel menilai keberadaan senjata Hamas sebagai ancaman permanen yang bisa memicu serangan serupa 7 Oktober 2023.

Beberapa tokoh Palestina juga menyerukan agar Hamas “menghilangkan dalih” yang digunakan Israel untuk terus melanjutkan serangan. Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas misalnya, mendesak pemulangan tawanan Israel yang masih berada di Gaza.

Namun analis politik Dr. Ahmad Al-Hila mengkritik seruan itu. Menurutnya, itu sama saja meminta Hamas menyerah, seperti yang pernah dilakukan Fatah 35 tahun lalu. Saat itu, Israel justru memperluas kontrol atas Tepi Barat tanpa memberikan imbal balik.

Ia juga mengingatkan bahwa menunggu kesepakatan selama berbulan-bulan hanya akan memperparah bencana kemanusiaan di Gaza. Optimisme yang sempat tumbuh dari kunjungan Menlu Qatar ke Washington dinilainya masih dibayangi keraguan, terutama karena Netanyahu kerap menggagalkan atau mundur dari kesepakatan.

Tekanan Internasional Lewat Ankara dan Doha

Kunjungan delegasi Hamas ke Ankara disebut Al-Hila juga memainkan peran penting dalam menyampaikan pesan ke AS—lewat Turki—bahwa genosida atas rakyat Palestina tidak bisa dibiarkan hanya demi kepentingan politik Netanyahu.

Menurutnya, semua pihak yang terlibat dalam konflik kini mulai mengerahkan tekanan kepada Washington, sebagai satu-satunya pihak yang punya pengaruh nyata untuk memaksa Israel menerima kesepakatan.

Israel Menolak Gencatan Senjata Jangka Panjang

Al-Hila menambahkan bahwa Hamas sudah menunjukkan sikap konstruktif dengan menyatakan kesiapan menerima gencatan senjata jangka panjang—sebuah manuver yang melemahkan narasi Israel tentang “ancaman permanen” dari Gaza.

Namun Warrick tetap pesimistis. Baginya, Israel tidak akan membiarkan Hamas tetap eksis, dan AS pun belum menunjukkan keseriusan untuk mendorong diakhirinya perang. Pemerintah AS, menurutnya, baru akan bertindak setelah semua opsi lain gagal total.

Pandangan itu diamini pakar Israel Dr. Muhannad Mustafa. Ia menilai bahwa bukan hanya pemerintah, tapi mayoritas warga Israel juga menolak gencatan senjata. Mereka khawatir Hamas akan menggunakan jeda untuk membangun kekuatan dan melancarkan serangan baru.

Menurut Mustafa, Netanyahu kemungkinan akan tetap menjalankan perang dengan ritme yang lebih pelan, sembari membuka keran bantuan kemanusiaan secara terbatas demi menghindari tekanan global. Ia menilai Netanyahu akan memilih skenario kesepakatan parsial untuk membebaskan tawanan Israel, bahkan jika itu berarti mempertahankan pasukan di Gaza selama bertahun-tahun.

Selain itu, Netanyahu juga berusaha menjadikan krisis Gaza sebagai isu “normal” di mata publik Israel, seperti yang terjadi di Tepi Barat. Indikasinya, perdebatan di Israel kini bukan lagi soal masuknya bantuan, melainkan siapa yang akan mendistribusikannya.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here