Di atas kapal Hanzala yang berlayar dari Italia menuju Gaza, para aktivis dari berbagai negara menyuarakan tekad yang sama: menembus blokade Israel dan menghentikan genosida yang telah berlangsung lebih dari 21 bulan. Kapal ini membawa 21 penumpang, termasuk anggota parlemen Prancis, dokter asal Kanada, dan aktivis senior dari Norwegia, semuanya terlibat dalam misi kemanusiaan dan pembongkaran kebungkaman global terhadap kejahatan perang di Gaza.
Gabriel Cattala, anggota parlemen Prancis yang ikut serta dalam pelayaran ini, menyatakan, “Kami ingin membuktikan bahwa blokade atas Gaza bisa dipecahkan. Genosida ini terjadi di depan mata dunia, terpampang di layar ponsel dan televisi kita setiap hari, dan kita tidak boleh diam.” Ia menegaskan, misi ini bukan sekadar membawa bantuan, tetapi juga panggilan moral untuk menghentikan pembantaian yang sistematis dan terencana.
Hanzala adalah bagian dari koalisi “Freedom Flotilla”, armada sipil yang berulang kali mencoba mengantarkan bantuan ke Gaza. Namun, seperti kapal “Madeline” yang diserang dan disita Israel di perairan internasional, risiko besar mengintai mereka yang menolak tunduk pada keheningan. Meski beberapa kapal diserang dan aktivis ditangkap, tekad mereka tak goyah. “Jika kami gagal kali ini, akan ada kapal-kapal lain setelah kami,” tegas Cattala.
Bagi dr. Yi Ping Ji, dokter umum asal Kanada, misi ini bersifat pribadi dan profesional. Ia membawa kaki dan tangan palsu untuk ribuan anak Gaza yang kehilangan anggota tubuh akibat perang. “Anak-anak Gaza mencatat angka amputasi tertinggi di dunia. Ini bukan hanya tentang bantuan medis, ini solidaritas terhadap hak hidup dan martabat,” katanya.
Sementara itu, aktivis Norwegia berusia 70 tahun, Vidgis Bjorvand, menyebut kondisi Gaza sebagai “lebih buruk dari Holocaust.” Ia berkata lirih, “Anak-anak sekarat karena kelaparan. Ini adalah genosida. Dunia harus bangkit dan bersuara.”
Sejak 2 Maret 2025, Israel menutup total seluruh akses ke Gaza, memblokir makanan dan obat-obatan. Sejak 7 Oktober 2023, Israel melancarkan operasi militer brutal yang oleh banyak pihak disebut sebagai genosida: meliputi pembunuhan massal, penghancuran infrastruktur sipil, kelaparan massal, dan pengusiran paksa, semuanya berlangsung di tengah dukungan Amerika Serikat dan pembiaran komunitas internasional.
Kini, lebih dari 200.000 warga Palestina telah menjadi korban (syahid dan terluka) mayoritas adalah anak-anak dan perempuan. Ribuan lainnya hilang, ratusan ribu mengungsi, dan Gaza kini menghadapi kelaparan yang merenggut nyawa.
Kapal Hanzala bukan sekadar perahu, ia adalah simbol perlawanan terhadap diamnya dunia. Sebuah suara di tengah laut yang menggema pesan: “Kami tidak akan tinggal diam saat rakyat Gaza dilenyapkan.”