Sebuah laporan yang mengguncang diterbitkan oleh Ynet, media digital milik surat kabar Yedioth Ahronoth. Jurnalis Israel, Chen Artzi Sror, mengungkapkan kenyataan pahit yang jarang dibicarakan: gelombang keruntuhan psikologis yang melanda barisan tentara cadangan Israel yang dikerahkan berbulan-bulan dalam perang tanpa ujung di Gaza.

Para tentara itu, menurut Artzi, hidup dalam apa yang ia sebut sebagai “trauma diam-diam.” Mereka kembali dari medan tempur dengan tatapan kosong, membisu dalam tubuh hidup yang seolah telah mati rasa. “Mereka seperti zombie,” tulisnya.

Dalam laporannya, Artzi menyuguhkan kesaksian yang mengguncang: seorang perwira cadangan mengaku kehilangan seluruh rasa saat secara tak sengaja menabrak bayi dalam operasi militer di Gaza. Ketika ia kembali ke rumah dan melihat putrinya yang baru lahir, ia bahkan tak mampu menyentuhnya.

Kisah lain menceritakan seorang tentara yang menghilang selama beberapa hari. Ia ditemukan dalam kondisi seperti koma mental di gang sempit—tatapan kosong, wajah tak lagi mengenal makna kehidupan.

Artzi mencatat bahwa upaya tentara Israel menyediakan dukungan psikologis di lapangan tak mampu meredam krisis yang kian mengakar. Dalam kondisi fisik yang makin terkuras dan emosi yang meledak dalam diam, bahkan para istri mulai menyerah. Beberapa dari mereka, tulis Artzi, mengancam akan bunuh diri jika suami mereka kembali dipanggil ke garis depan.

Faktor utamanya bukan hanya pertempuran yang tak kunjung usai. Pola rotasi dinas militer yang terus berulang, jam tempur yang melelahkan, dan interaksi penuh ketegangan dengan warga sipil Palestina menciptakan tekanan mental yang luar biasa—ledakan yang ditunda waktu.

Psikiater militer Ronen Sidi menegaskan bahwa gelombang kehancuran mental kali ini berbeda. “Mereka tak hanya memikul satu trauma. Ini adalah campuran mematikan dari ingatan traumatis yang tumpang tindih, paparan bahaya yang konstan, dan kehampaan emosi yang terus-menerus,” katanya.

Bahkan, beberapa tentara menunjukkan gejala yang jauh lebih parah dari PTSD (gangguan stres pascatrauma). Mereka seperti mesin yang terus berjalan tanpa kesadaran, tanpa kehendak, tanpa rasa.

“Kesalahan terbesar adalah memaksa mereka bungkam,” lanjut Sidi. “Melarang mereka bicara karena takut melemahkan moral hanya akan memperdalam luka.”

Di akhir laporannya, Artzi memperingatkan bahwa luka perang ini tak hanya tercetak di tubuh para tentara, tapi juga meresap ke dalam kesadaran kolektif masyarakat Israel—sebuah luka tak kasat mata yang tak mudah sembuh.

Sumber: Yedioth Ahronoth

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here