Di sebuah tenda reyot di pinggiran kamp pengungsian Khan Younis, Jalur Gaza selatan, seorang bocah perempuan Palestina bernama Lana Al-Syarif duduk memeluk sisa-sisa masa kecilnya yang hancur. Sudah 19 bulan perang genosida Israel berlangsung, meninggalkan luka mendalam dan merampas hampir seluruh hak hidupnya.
Tak ada tawa dari kaus merah muda bergambar Mickey Mouse yang dipakainya. Wajah Lana yang muram dan tubuhnya yang dihiasi bercak putih menyerupai vitiligo adalah jejak nyata dari teror yang membekas di kulit dan jiwa.
Lewat cermin kecil, Lana memandangi dirinya—gadis kecil berusia tak lebih dari 10 tahun, kini berambut uban karena ketakutan berkepanjangan akibat gempuran bom. Suaranya lirih, penuh duka, “Dulu sebelum perang, aku cantik,” katanya kepada Anadolu, menggambarkan betapa besar dampak psikologis yang ia rasakan.
Dokter di Gaza menyebut penyakitnya tak kunjung membaik karena keterbatasan fasilitas medis. Harapan Lana hanya satu: bisa keluar dari Gaza dan mendapatkan pengobatan yang layak agar bisa kembali melihat wajah masa kecilnya yang hilang.
Terperangkap di Tengah Kepungan
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 10.500 warga Gaza saat ini membutuhkan evakuasi medis segera—sekitar 4.000 di antaranya adalah anak-anak. Namun agresi brutal Israel menghalangi setiap upaya keluar dari jalur kematian ini.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel terus menggencarkan perang habis-habisan terhadap warga Gaza—melalui pembunuhan, penghancuran, blokade makanan, dan pengusiran paksa. Seruan dunia dan perintah Mahkamah Internasional untuk menghentikan kekerasan itu diabaikan begitu saja.
Hingga kini, perang ini telah merenggut lebih dari 172.000 korban jiwa dan luka, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Lebih dari 11.000 orang masih hilang di bawah puing-puing atau reruntuhan yang tak bisa dijangkau.
Bercak Putih yang Muncul Setelah Ledakan
Lana mengisahkan bahwa bintik putih di wajahnya mulai muncul satu setengah tahun lalu, dua hari setelah jet tempur Israel membombardir rumah tetangga mereka di Rafah. Ia mengalami trauma berat yang kemudian memicu gejala di kulit.
Serangan panik berikutnya justru memperburuk kondisinya. Bercak-bercak itu menyebar ke sekujur tubuh. Tak ada obat yang bisa mengatasi penyakitnya di Gaza—hanya janji kosong dan doa dari para dokter yang ikut berjuang tanpa alat, tanpa pasokan, tanpa harapan.
Anak yang Ingin Kembali Tersenyum
Kini Lana tinggal di tenda pengungsian tanpa fasilitas dasar kehidupan. Meski begitu, ia masih menyimpan kecintaan pada seni. Di balik reruntuhan dan trauma, ia masih menggambar bunga dan pohon di atas kertas robek.
“Aku ingin perang ini berhenti, dan aku bisa kembali ke rumah,” katanya. Ia bermimpi bisa menjalani pengobatan di luar negeri. Namun Israel telah menghancurkan rumah sakit, menutup perbatasan, dan melarang masuknya obat-obatan serta alat medis.
“Ini Bukan Vitiligo Biasa”
Ayahnya, Khalil Al-Syarif, menyebutkan bahwa penyakit yang diderita Lana muncul setelah ledakan besar di dekat rumah mereka. Dua hari kemudian, muncul dua bercak putih. Setelah itu, tubuhnya terus menunjukkan perubahan yang mencemaskan.
Meski diduga mirip dengan vitiligo, dokter menyatakan gejala yang dialami Lana tidak sepenuhnya cocok. Mereka menyebut ini kasus langka yang butuh penanganan khusus di luar Gaza.
Kelaparan dan Trauma yang Berlapis
Menurut Khalil, kondisi Lana diperparah oleh banyak faktor: trauma mendalam, kurangnya pengobatan, hingga kelaparan yang makin parah akibat blokade total. Lana yang dulu ceria kini menjadi anak pendiam yang enggan berinteraksi.
Hari-harinya dihabiskan dalam antrean air bersih dan makanan gratis dari dapur umum. Tubuhnya yang semakin kurus dan wajahnya yang kehilangan warna menjadi cermin luka Gaza—dan kisah Lana hanya satu dari ribuan yang terlupakan dunia.