Spirit of Aqsa, Gaza- Abu Jihad Al-Sultan membersihkan radio tua yang dimilikinya selama 30 tahun, memperbaiki kerusakan karea sudah ditinggalkan dan diabaikan selama bertahun-tahun. Dia mengikuti siaran radio untuk mengikuti perkembangan terkini di Jalur Gaza.

Jumat malam (27/10) sekira pukul 07.00, Jalur Gaza dihadapkan pada situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Lebih dari dua juta warga Palestina mendapati diri mereka terisolasi dari dunia luar, menyusul pemutusan layanan komunikasi seluler dan telepon rumah serta layanan Internet oleh Israel.

“Kami merasa seolah-olah kami tiba-tiba memasuki mesin waktu yang membawa kami kembali ke masa lalu. Suasana selama jam-jam isolasi bahkan lebih mengerikan, terutama dengan intensnya penerbangan pesawat tempur Israel, penggerebekan, dan penembakan. suara ledakan bergema di mana-mana,” kata Abu Jihad, dikutip Al Jazeera, Senin (30/10).

Kembali ke Radio

Abu Jihad (55 tahun) terpaksa mencari radio di antara tumpukan peralatan dan perangkat tua di gudang rumahnya. “Saya tidak pernah menyangka bahwa radio ini akan menjadi satu-satunya cara untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. tidak hanya di dunia yang jauh, tapi bahkan kejadian terkini di sekitarku,” ujarnya.

Radio tidak lagi mendapat tempat di rumah-rumah mayoritas warga Palestina di Jalur Gaza, kecuali sekelompok orang lanjut usia, yang terikat pada radio karena kebiasaan dan tidak menyukai teknologi aplikasi di telepon seluler.

Abu Jihad harus berdiri dalam waktu yang lama, meletakkan radio di jendela yang kacanya pecah akibat serangan udara Israel. Dia mulai menggerakkan penunjuk dengan cakram logam, mencari stasiun radio dengan suara yang jernih.

Ini bukanlah tugas yang mudah mengingat gangguan parah yang diakibatkan oleh penerbangan pesawat militer dan kendaraan udara tak berawak yang intens, yang populer disebut “ burung elang” di Gaza. Karena suara-suara menjengkelkan yang dihasilkannya sepanjang waktu.

Abu Jihad menggambarkan sekitar 33 jam isolasi sebagai “yang paling menakutkan” sejak pecahnya perang pada 7 Oktober. Dia berkata, “Pemadaman komunikasi dan Internet memperketat tali di leher kita, dan jam malam sangat menakutkan dan mengintimidasi. Kami kurang tidur dan digantikan oleh rasa cemas yang hebat.”

Firas Adwan, seorang pemuda berusia dua puluhan, tidak tahan dengan gangguan komunikasi dan Internet, sehingga ia menggunakan kartu SIM komunikasi dari sebuah perusahaan Mesir. Meski ada layanan tapi kualitasnya buruk.

Firas dan orang lain terpaksa membeli kartu telekomunikasi Mesir, yang dengan cepat kehabisan pasar, untuk tetap berhubungan dengan dunia dan belajar tentang perkembangan agresi Israel.

Bergegas Menuju Suara dan Asap

Pemutusan komunikasi dan internet meningkatkan kerumitan dan hambatan kerja tim medis dan ambulans, yang tidak lagi mampu menentukan lokasi serangan udara Israel dan daerah sasarannya.

Pada jam-jam isolasi, ambulans bergerak sesuai sumber suara, atau menuju kepulan asap akibat serangan udara. Pada jam-jam malam mereka baru bisa bergerak setelah para korban dibawa menggunakan gerobak atau mobil kecil yang berjalan dengan roda 3, yang populer disebut dengan “taktuk”.

Jamal Adwan, koresponden Jaringan Al-Aqsa lokal di kota Rafah, mengatakan, ambulans didistribusikan selama jam-jam komunikasi dan pemadaman Internet di beberapa titik utama di kota tersebut, untuk segera merespons dan menuju ke arah rumah dan tempat yang ditargetkan.

Di pinggir Jalan

Pemilik rumah dan institusi lokal yang beroperasi dengan listrik yang dihasilkan oleh sel surya secara sukarela memperluas sambungan listrik di jalan-jalan, menjadikannya tersedia gratis bagi mereka yang perlu mengisi daya radio dan telepon seluler, dan baterai kecil yang digunakan untuk penerangan rumah sederhana untuk mengatasi kegelapan.

Dengan pecahnya perang di Gaza, Israel memberlakukan blokade ketat, mencegah masuknya banyak material, dan melarang pasokan bahan bakar yang diperlukan untuk mengoperasikan satu-satunya pembangkit listrik di Jalur Gaza, selain memutus jalur transmisi listrik yang berasal dari Israel.

Meskipun ada bahaya berkumpul di jalan-jalan dan di persimpangan jalan, terutama dengan serangan-serangan sebelumnya yang mengakibatkan korban jiwa dan luka-luka, keadaan terisolasi memaksa banyak anak muda di kamp-kamp pengungsi untuk berkumpul di depan pintu rumah mereka, dan di antara gang-gang kamp. Mereka bertukar berita tentang perkembangan di lapangan sehubungan dengan gangguan komunikasi dan Internet.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here