Di dekat pagar keamanan yang menjadi benteng kendaraan militer Israel di Beit Hanoun, Gaza Utara, Suhaib Shahada berdiri mengenang hari-hari sulit yang ia lalui di kota perbatasan yang hancur akibat serangan udara dan perataan tanah.

Shahada yakin bahwa kegigihan setengah juta warga Palestina di Gaza dan wilayah utara untuk tetap bertahan di tanah mereka serta menolak pengusiran, meskipun menghadapi pembunuhan dan kelaparan, menjadi faktor utama dalam menggagalkan rencana pemindahan paksa yang ingin diterapkan oleh Israel di Gaza.

“Dengan bangga saya katakan, meskipun Israel telah mengubah Beit Hanoun menjadi puing-puing dan berusaha membunuh warganya serta menghancurkan sumber kehidupan di sana dengan harapan bisa menyingkirkan mereka selamanya, mereka gagal menghadapi pemilik sah tanah ini,” ujarnya kepada Al Jazeera Net.

Rencana Para Jenderal

Sejak awal perang di Gaza, tentara Israel menggunakan segala bentuk teror untuk memaksa lebih dari satu juta warga Palestina di Gaza dan wilayah utara untuk mengungsi ke wilayah tengah dan selatan Gaza.Operasi militer Israel dimulai pada akhir Oktober 2023, menargetkan Beit Lahia, Beit Hanoun, Kota Jabalia, dan kamp pengungsinya, bersamaan dengan invasi ke bagian barat Kota Gaza.

Militer Israel mengakhiri operasi darat pertamanya di Gaza Utara pada akhir 2023. Sejak itu, mereka memberlakukan blokade ketat terhadap warga yang menolak mengungsi, memaksa mereka untuk menggiling pakan ternak demi bertahan hidup setelah pasokan tepung dan bahan makanan lainnya habis.

Pada awal Mei 2024, tentara Israel kembali menyerang Kamp Jabalia dalam operasi militer selama 22 hari, menghancurkan ratusan rumah dan fasilitas layanan sebagai upaya kedua untuk mengusir penduduk.

Pada musim panas tahun yang sama, pensiunan jenderal Israel, Giora Eiland, bersama sejumlah perwira lainnya, mulai mengusulkan rencana pengusiran warga Palestina ke selatan Wadi Gaza, yang dikenal sebagai “Rencana Para Jenderal.”

Pada 5 Oktober 2024, Israel melancarkan serangan paling brutal terhadap Gaza Utara, menggunakan kekuatan militer besar-besaran untuk mengusir sekitar 250.000 warga Palestina yang terjebak di sana. Israel menerapkan strategi ini dengan menghancurkan seluruh fasilitas kesehatan, melumpuhkan layanan darurat, serta melarang aktivitas tim medis dan pemadam kebakaran.

Namun, 105 hari pembantaian dan kehancuran gagal mengosongkan seluruh wilayah Gaza Utara. Sekitar 40.000 warga tetap bertahan di rumah mereka, menghadapi teror sepanjang waktu, hingga akhirnya gencatan senjata mulai berlaku.

Menggagalkan Pengusiran

Begitu tentara Israel menarik diri dari Kamp Jabalia, Ahmad Abu Qamar segera mendirikan tenda di atas reruntuhan rumah keluarganya setelah sebelumnya terpaksa mengungsi ke Kota Gaza.

Sebagai seorang peneliti ekonomi, Abu Qamar menyadari rencana pengusiran sejak awal, terutama setelah melihat bagaimana Israel secara sengaja memutus pasokan makanan, air, dan bahan bakar ke Gaza Utara sejak dimulainya perang.

“Israel menghancurkan seluruh aspek kehidupan sebagai hukuman bagi mereka yang menolak pergi dan memaksa mereka untuk mengungsi secara paksa,” ujarnya kepada Al Jazeera Net. Namun, seperti banyak warga lainnya, ia memilih bertahan di tanahnya meskipun menghadapi kesulitan luar biasa.

Menurutnya, Israel terkejut dengan keteguhan rakyat Palestina, karena mereka telah menggunakan segala cara untuk memaksa mereka pergi, tetapi tetap gagal mencapai tujuannya.

“Semua orang kehilangan rumah mereka, Israel menghancurkan segala yang telah dibangun selama puluhan tahun, sebagian besar warga kehilangan mata pencaharian, dan kondisi kehidupan mencapai titik terendah dalam sejarah,” tambahnya. Namun, ia percaya bahwa yang mencegah mereka untuk meninggalkan Gaza adalah ingatan akan Nakba pertama serta kesedihan para leluhur yang dipaksa meninggalkan desa mereka dahulu.

Abu Qamar menegaskan bahwa saat ini yang paling mendesak adalah mengembalikan semua aspek kehidupan ke Gaza Utara, termasuk pasokan air, makanan, energi alternatif, serta perbaikan rumah sakit dan infrastruktur guna mempercepat kepulangan warga ke rumah mereka.

Tekad untuk Bertahan

Khalid Muslim, seorang aktivis sosial yang tetap bertahan di Beit Lahia, menegaskan bahwa siapa pun yang memiliki tanah tahu bahwa harga untuk mempertahankannya sangat mahal, tetapi tetap lebih kecil dibandingkan dengan harga yang harus dibayar jika mereka meninggalkannya.

Sejak hari-hari pertama agresi, Muslim kehilangan rumahnya, sementara tanah pertanian keluarganya dihancurkan oleh Israel. Ia juga harus merelakan banyak kerabat dan teman yang gugur dalam genosida ini. Namun, ia tetap menolak untuk mengungsi atau meninggalkan Gaza Utara.

Di tengah perang yang semakin sengit, Muslim meningkatkan aktivitas sosialnya untuk membantu warga dengan menyediakan air dan makanan. “Memperkuat ketahanan warga adalah hal terpenting dalam tahap perang genosida ini,” katanya.

Ia menambahkan bahwa dampak perang sangat besar, dan pemulihan Gaza akan membutuhkan upaya luar biasa serta prioritas utama dalam membantu para korban. Namun, ia percaya bahwa Gaza selalu mampu bangkit kembali.

Keputusan untuk Tetap Bertahan

Shaban Ghabin, seorang pemuda penyandang disabilitas, memutuskan untuk tetap tinggal di rumahnya di Beit Lahia selama lebih dari 13 bulan, hingga akhirnya sebuah tank Israel menembakkan proyektil yang merusak bangunan tersebut. Tak lama kemudian, tentara Israel memasuki rumahnya dan memaksanya pergi ke Kota Gaza.

“Dalam kondisi apa pun, bertahan di tanah sendiri adalah satu-satunya pilihan, meskipun Israel sengaja membunuh siapa pun yang berada di Gaza Utara,” ujarnya kepada Al Jazeera Net. Menurutnya, keteguhan warga yang bertahan di rumah mereka berhasil menggagalkan rencana Israel untuk membangun pemukiman ilegal di Gaza Utara setelah mengusir penduduknya.

Ghabin mengalami pemukulan oleh tentara Israel, yang sama sekali tidak mempertimbangkan kondisinya sebagai penyandang disabilitas yang hanya bisa bergerak dengan kursi roda. Ia bahkan selamat dari tembakan artileri Israel yang mengarah langsung kepadanya dan beberapa tetangganya. Namun, setelah tentara Israel mundur dari Gaza Utara, ia segera kembali ke reruntuhan rumahnya.

Di Jabalia, Madeline Khala dan keluarganya juga menolak meninggalkan rumah mereka, meskipun berada di zona yang diperintahkan Israel untuk dikosongkan.

“Kami membuat keputusan bersama untuk tetap tinggal, meskipun ledakan terjadi di sekitar kami dan drone Israel terus mengintai sepanjang waktu,” katanya kepada Al Jazeera Net.

Madeline kehilangan ibunya, yang gugur akibat pecahan bom dari drone Israel yang menembus tubuhnya. Namun, ia tetap yakin bahwa kematian bisa datang di mana saja, baik di Gaza Utara maupun di Gaza Selatan. Oleh karena itu, mereka memilih untuk tetap tinggal dan menggagalkan rencana Israel.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here