Spirit of Aqsa, Palestina- “Ini yang paling sulit dalam hidup saya,” begitulah dr Muhammad Madi menggambarkan tiga hari pengepungan di dalam Rumah Sakit Rantisi, Jalur Gaza utara beberapa waktu sebelum dipaksa mengungsi ke Kota Rafah, Jalur Gaza selatan.
“Saya masuk rumah sakit pada hari pertama perang, dan keluarga saya bergabung dengan saya, dan kami dipaksa keluar setelah tank masuk dan melakukan pengepungan yang mencekik di sekitarnya, bertepatan dengan bom yang berjatuhan di sekitar kami, menyebabkan kematian dan ketakutan,” ujar dr Madi, dikutip Al Jazeera, Kamis (23/11).
Dokter Madi membawa keluarganya yang terdiri dari istri dan enam anak setelah serangan udara teroris Israel menghancurkan apartemen miliknya di Kota Gaza, Jalur Gaza utara. Selain merawat korban luka yang datang tanpa henti, dia juga harus menjaga anggota keluarganya.
“Saya lebih suka kami tetap bersama setelah saya merasakan bahaya sejak awal, bahwa perang ini berbeda dari semua serangan pendudukan (zionis Israel) sebelumnya terhadap Gaza,” katanya.
Dia menjelaskan, sebelum Rumah Sakit Al-Rantisi dikepung tank dan penembak jitu, pihak rumah sakit sudah berkali-kali diusir melalui panggilan telpon dari militer Israel. Teroris Israel juga menjatuhkan selebaran yang berisi perintah meninggalkan rumah sakit.
Saat militer teroris Israel melancarkan invasi darat ke Jalur Gaza pada 27 Oktober, Rumah Sakit Al-Rantisi menjadi salah satu sasaran pengepungan. Militer Israel menempatkan tank dan kendaraan tempur serta penembak jitu untuk meneror warga.
Dokter menggambarkan, para dokter sangat sulit untuk pindah dari satu gedung ke gedung lain. Banyak risiko yang dihadapi, seperti bidikan penembak jitu dan drone Israel yang terbang di atas rumah sakit. Drone dan penembak jitu menargetkan siapa saja yang berani keluar rumah sakit selama pengepungan.
Tantangan dan Hambatan
Rumah Sakit Al-Rantisi sebenarnya dikhususkan untuk penderita kanker dan anak-anak. Namun, saat militer teroris Israel membantai Jalur Gaza, Al-Rantisi membuka pintu untuk korban luka untuk mengurangi beban rumah sakit yang ada di Kota Gaza, terutama Kompleks Medis Al-Shifa. pihak Al-Rantisi harus mengosongkan departemen bedah untuk mengkhususkan korban pembantaian.
Saat pembantaian makin berkecamuk, Al-Rantisi terpaksa menutup paksa 11 departemen khusus dan hanya bisa mempertahankan tiga departemen yakni perawatan intensif, dialisis anak, dan onkologi.
Masalah kemudian muncul, Al-Rantisi sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk menghadapi siuasi perang, karena memang rumah sakit khusus. Masalah pertama datang dari dokter dan perawat disertai pasokan medis terbatas yang diperlukan untuk memberikan perawatan darurat ke para korban.
Kenyataan ini yang mendorong perawat Mahmoud Barda dan istrinya untuk menjadi sukarelawan di Rumah Sakit Al-Rantisi. Selama menjadi sukarelawan, dia terus-menerus menghadapi teror dari militer teroris Israel. Dia menyaksikan sendiri bagaimana para pasien seolah menunggu kematian. Bukan hanya karena bom dan peluru, tapi juga karena kelaparan dan kehausan.
“Kita harus mencampur air asin dengan air medis yang digunakan dalam operasi dialisis untuk mengurangi salinitasnya dan menggunakannya untuk minum, sementara beberapa kurma menjadi makanan pokok mereka,” kata Barda.
Sumber: Al Jazeera