Di malam yang gelap dan sesak oleh ketakutan, Rumah Sakit Al-Ma’madani di Gaza berubah dari tempat perawatan menjadi zona kematian. Rudal Israel menghantam salah satu rumah sakit tertua dan terpenting di Gaza utara, menghancurkan ruang-ruang vital, menewaskan pasien, dan memaksa seluruh layanan kesehatan berhenti beroperasi.

Bagi Mahmoud Nasir, malam itu dimulai dengan jeritan. Ia terbangun dari ranjangnya di ruang bedah karena suara gaduh dan teriakan panik. Tubuhnya lumpuh akibat cedera tulang belakang, dan ia hanya bisa melihat kekacauan di sekelilingnya tanpa mampu bergerak sedikit pun.

“Saya hanya bisa mendengar bahwa kami akan dibom. Saya tidak bisa lari. Saya hanya menunggu,” katanya kepada Al Jazeera.

Ketika rudal menghantam, dinding bergetar seperti dilanda gempa. Debu membubung seperti badai, kaca pecah beterbangan, dan suara ledakan memekakkan telinga. Mahmoud merasa saat itu adalah akhir dari segalanya.

Kisah serupa juga dialami Zuhri Saudi, yang menemani dua putranya—Muhammad (13) dan Ahmad (10)—yang terluka akibat serangan sebelumnya di sekolah Dar Al-Arqam.

Di tengah malam, Ahmad membangunkannya dengan suara gemetar: “Ayah, katanya Israel akan membom rumah sakit…” Awalnya ia mengira anaknya bermimpi, tapi suara sirene dan kekacauan segera membuktikan sebaliknya.

“Kami tidak tahu harus keluar atau tetap di dalam. Di luar mungkin ada pecahan rudal, di dalam bisa jadi target,” kata Zuhri.

Istrinya, Rania, menambahkan bahwa anak mereka menggigil karena ketakutan, dan para pasien berteriak meminta dievakuasi—tanpa tahu ke mana harus pergi.

Serangan itu menewaskan seorang anak dan menghancurkan berbagai fasilitas penting: ruang UGD, laboratorium, apotek, hingga ruang radiologi.

“Tanpa itu semua, rumah sakit ini kehilangan jantungnya,” kata Direktur Rumah Sakit, Dr. Fadel Naeem.

Ia mengumumkan bahwa rumah sakit kini resmi berhenti beroperasi. Perbaikannya bisa memakan waktu berbulan-bulan, jika bukan tahun.

Kementerian Kesehatan Gaza kini berjuang keras mencari alternatif. Rumah Sakit Al-Shifa dijadikan pusat rujukan sementara, meskipun kondisinya juga tak ideal. Al-Shifa sebelumnya dua kali dihancurkan pasukan Israel: pada November 2023 dan Maret 2024. Kini rumah sakit itu hanya mampu beroperasi sebagian, seperti rumah sakit darurat.

“Enam puluh persen obat-obatan esensial tidak tersedia, 40 persen peralatan medis sudah habis, dan kami bahkan tak bisa lagi melakukan operasi jantung,” kata Dr. Munir Al-Bursh, pejabat tinggi di Kementerian Kesehatan.

Namun ia menegaskan, “Kami tidak akan menyerah. Kami akan terus melayani, sebisanya.”

Lebih dari sekadar institusi kesehatan, rumah sakit di Gaza telah menjadi tempat perlindungan terakhir bagi ribuan warga sipil yang kehilangan rumah. Menurut Ismail Al-Thawabta, juru bicara kantor media pemerintah, rumah sakit kini adalah simbol harapan.

“Ketika rumah sakit dibom, itu bukan sekadar pelanggaran hukum perang. Itu adalah bagian dari proyek pemusnahan sistematis,” ujarnya.

Sejak awal perang, setidaknya 36 rumah sakit telah menjadi sasaran: dibom, dibakar, dihancurkan, atau dipaksa berhenti beroperasi. Rumah Sakit Al-Ma’madani kini menjadi salah satunya.

Dan malam itu, di antara puing-puing dan tangisan, satu hal menjadi jelas: di Gaza, bahkan harapan bisa dibunuh.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here