Dalam 24 jam terakhir, warga Gaza kembali mengalami hari paling mematikan sejak gencatan senjata yang ditengahi Amerika Serikat antara Israel dan Hamas mulai berlaku hampir tiga pekan lalu.
Lebih dari 100 orang syahid, termasuk 46 anak-anak, akibat serangan udara Israel pada Selasa malam dan Rabu dini hari. Sumber medis kepada Al Jazeera menyebutkan bahwa serangan menghantam seluruh wilayah Gaza, dari utara hingga selatan.
Serangan ini menambah panjang daftar pelanggaran gencatan senjata yang terus terjadi, sementara prospek perdamaian terlihat semakin rapuh.
Israel Kembali “Taat” Gencatan Senjata Setelah Membombardir Gaza
Rabu siang, militer Israel mengumumkan telah “melanjutkan penerapan gencatan senjata” sesuai instruksi pemimpin politiknya. Namun, mereka mengaku tetap siaga untuk menyerang kapan pun dianggap perlu.
Sebelumnya, Israel mengklaim telah menghantam lebih dari 30 target di Gaza, menuduhnya sebagai “pos komando kelompok teroris.”
Namun kenyataannya, puluhan rumah warga rata dengan tanah, termasuk satu keluarga berisi tiga generasi (18 orang yang terdiri dari anak-anak, orang tua, dan kakek-nenek) syahid dalam satu serangan di Gaza Tengah.
Tim Pertahanan Sipil kembali menggali reruntuhan dengan tangan kosong untuk mencari korban hidup dan meninggal, termasuk dari tenda-tenda pengungsi yang juga menjadi sasaran bom.
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 68.600 warga Palestina telah syahid dan 170 ribu lainnya terluka sejak perang genosida Israel dimulai pada Oktober 2023.
Alasan Israel: Jenazah Tawanan dan “Serangan Hamas”
Israel berdalih, serangan itu merupakan respons atas “pelanggaran” Hamas terkait penyerahan jenazah tawanan melalui Komite Palang Merah Internasional (ICRC).
Pemeriksaan forensik Israel mengklaim bahwa jenazah yang diserahkan bukan bagian dari 13 nama yang disepakati dalam gencatan senjata, melainkan Ofir Tzarfati, tawanan yang sebagian jasadnya ditemukan tahun lalu.
Kemarahan pun meledak di kalangan pejabat sayap kanan Israel dan kelompok keluarga tawanan yang menuntut pembalasan. Tak lama kemudian, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memerintahkan “serangan kuat” ke Gaza.
Di sisi lain, Hamas membantah menargetkan pasukan Israel dan menyebut Tel Aviv mencari-cari alasan untuk memperpanjang agresi.
Isi Kesepakatan Gencatan Senjata
Kesepakatan yang berlaku sejak 10 Oktober itu mencakup penyerahan 20 tawanan hidup dan 15 jenazah tawanan Israel oleh Hamas, sementara Israel berkomitmen membuka akses bantuan kemanusiaan.
Namun realitanya, bantuan yang masuk jauh di bawah ketentuan 600 truk per hari. Israel juga melarang masuknya tenda dan rumah portabel, serta membatasi alat berat yang dibutuhkan untuk mencari jenazah di bawah reruntuhan.
Jika seluruh jenazah tawanan telah diserahkan, fase kedua gencatan senjata disebut akan dimulai, mencakup penempatan pasukan stabilisasi internasional dan rencana rekonstruksi Gaza.
Namun para pejabat Israel telah berulang kali menegaskan tidak akan mengizinkan berdirinya negara Palestina berdaulat, bahkan terus melanjutkan rencana aneksasi ilegal di Tepi Barat.
Respons Hamas
Hamas menyebut Israel mengarang dalih palsu untuk memicu kembali agresi. Sebelum serangan terbaru, Hamas mencatat setidaknya 125 pelanggaran gencatan senjata oleh Israel. Sejak 10 Oktober, 211 warga Palestina telah syahid dan hampir 600 terluka akibat serangan lanjutan, sementara 482 jenazah baru ditemukan.
Hamas juga menyebut Israel menghambat upaya pencarian jenazah tawanan dengan melarang masuknya alat berat dan membatasi tim penyelamat ke wilayah tertentu. Kelompok tersebut bahkan menyatakan telah menemukan dua jenazah tawanan Israel lainnya, namun Israel terus menggunakan isu itu sebagai pembenaran untuk menyerang.
Dampak bagi Warga Sipil
Seperti sejak awal perang, warga sipil tetap menjadi korban utama. Mereka kehilangan rumah, keluarga, dan tempat berlindung, sementara pesawat tempur dan drone Israel terus mengitari langit Gaza.
Tak ada tempat yang benar-benar aman. Ketakutan meluas bahwa serangan akan terus berlanjut, menandai berakhirnya harapan singkat atas masa tenang.
Sikap Amerika Serikat dan Mediator Regional
Meski gencatan senjata terus dilanggar, Washington tetap menyatakan dukungan penuh kepada Israel. Presiden Donald Trump bahkan mengatakan bahwa “gencatan senjata tidak dalam bahaya,” kendati Gaza baru saja dibombardir.
Mediator seperti Qatar dan Mesir mengecam pelanggaran kesepakatan dan menuduh Israel sengaja melemahkan implementasinya, namun masih berusaha menjaga agar kesepakatan tidak sepenuhnya runtuh.










