Di barat Kota Rafah, Gaza selatan, seorang anak perempuan memeluk jenazah ibunya yang telah syahid — ditembak mati oleh tentara pendudukan Israel. Sang ibu terbunuh ketika berusaha mencari makanan di pusat distribusi bantuan kemanusiaan yang dikelola bersama oleh militer Israel dan pemerintah AS.

Kebahagiaan anak itu yang menanti sepotong roti berubah menjadi duka mendalam. Dalam kondisi terguncang, ia berkata, “Sudah seminggu kami tak makan roti. Ibu pergi mencari tepung agar kami bisa makan… lalu mereka membunuhnya.”

Tragedi serupa terjadi pada puluhan warga Gaza lainnya. Di ruang jenazah Rumah Sakit Nasser, orang-orang berkumpul, mencoba mengenali tubuh kerabat mereka yang hilang setelah pergi mengambil bantuan makanan — hanya untuk disambut peluru dan ledakan oleh pasukan Israel.

Bantuan atau Perangkap Maut?

Setiap hari, tentara Israel menjadikan titik distribusi bantuan sebagai jebakan mematikan. Seorang pria muda yang selamat dari serangan brutal itu menggambarkan kekacauan saat ribuan warga diserbu tembakan dari berbagai arah. Ia selamat dengan merangkak di antara tubuh korban, sementara seorang lansia di sebelahnya roboh dengan luka tembak di kepala.

Dalam kesaksiannya kepada Al Jazeera, pemuda itu mengaku datang berdasarkan pemberitahuan resmi dari perusahaan distribusi bantuan AS. Tapi sesampainya di sana, yang ia temui bukan makanan — melainkan sergapan berdarah.

Militer Israel mencoba menyangkal keterlibatan mereka. Tapi bukti-bukti di lapangan mengungkap semuanya: lokasi distribusi berada di wilayah yang sepenuhnya dikendalikan militer Israel. Bahkan media Israel, Channel 11, mengutip pengakuan tentara bahwa mereka memang menembaki kerumunan warga yang “menyimpang dari jalur”.

Angka Kematian Terus Bertambah

Hingga Selasa pagi, setidaknya 27 warga Gaza syahid dan lebih dari 90 lainnya terluka dalam serangan terbaru di Rafah, menurut data resmi Kementerian Kesehatan Gaza. Banyak dari korban dalam kondisi kritis.

Ismail Al-Thawabta, Kepala Kantor Media Pemerintah Gaza, menyebut bahwa distribusi bantuan oleh AS dan Israel telah berubah menjadi perangkap kematian massal.

“Israel menjadikan kelaparan sebagai alat pembunuhan,” ujarnya. “Mereka sengaja menembaki warga sipil yang kelaparan di lokasi-lokasi bantuan yang sudah mereka kuasai. Ini bukan kesalahan, ini adalah kejahatan yang diulang secara sadar.”

Sejak 27 Mei 2024 — saat distribusi bantuan mulai dilakukan lewat koordinasi militer Israel-AS — tercatat 102 orang syahid dan 490 lainnya luka-luka di titik distribusi bantuan.

Taktik Genosida: Membunuh Lewat Kelaparan

Al-Thawabta menegaskan bahwa tujuan Israel bukan sekadar mendistribusikan bantuan, tetapi menciptakan kekacauan, kelaparan, dan kematian. Mereka bahkan menolak kerja lembaga kemanusiaan internasional yang selama puluhan tahun melayani warga Gaza secara bermartabat.

Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri telah menolak skema distribusi bantuan ala Israel-AS, karena dianggap mengabaikan kebutuhan seluruh warga dan mengandung agenda militer serta politik tersembunyi.

Data: Kelaparan Bukan Lagi Ancaman, Tapi Realitas

Ketua Lembaga HAM Internasional untuk Palestina (HADSH), Salah Abdul Ati, menyebut bahwa Israel menggunakan kelaparan sebagai senjata perang. Hanya sekitar 90 truk bantuan masuk per hari, sementara kebutuhan dasar Gaza butuh sepuluh kali lipatnya.

Ia membeberkan bahwa sebanyak 326 orang telah wafat karena kelaparan dan kurang gizi, termasuk 58 orang yang tewas secara langsung akibat kelaparan, dan 26 pasien gagal ginjal yang tidak tertolong.

Bantuan yang dikoordinasi Amerika dan Israel, lanjutnya, kini tidak lagi menjadi jalur penyelamatan, tapi jebakan kematian kolektif.

Desakan Global: Hentikan Distribusi Ala Israel-AS

Sebanyak 300 tokoh masyarakat Gaza telah mengajukan petisi kepada PBB dan lembaga internasional, mendesak dihentikannya distribusi bantuan oleh Israel-AS, terutama di Gaza selatan. Mereka menyebut metode distribusi itu sebagai bentuk baru “pembantaian dan penghinaan kolektif.”

Petisi yang didapatkan Al Jazeera juga mendesak agar tanggung jawab penuh dikembalikan ke UNRWA dan WFP — badan-badan PBB yang dinilai lebih netral, aman, dan manusiawi dalam menyalurkan bantuan.

Dalam pernyataan bersama mereka, para tokoh menegaskan, “Distribusi ala militer hanya membawa penderitaan. Ini bukan bantuan, ini adalah instrumen pembantaian.”

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here