Dalam langkah provokatif yang membuka babak baru serangan terhadap simbol-simbol Islam di wilayah Palestina 1948 dan Al-Quds, Menteri Perlindungan Lingkungan Hidup Israel, Idit Silman, mengirim surat resmi kepada Inspektur Jenderal Polisi, Kobi Shabtai, meminta tindakan tegas untuk membatasi apa yang ia sebut sebagai “polusi suara” akibat pengeras suara masjid, khususnya suara adzan.

Langkah ini menyasar masjid-masjid di kota-kota campuran dan kawasan Arab dalam wilayah Palestina 1948, seperti Yafa, Lod, Ramla, Haifa, dan Bir Saba, serta Al-Quds yang diduduki. Tiga masjid menjadi fokus utama: Masjid Al-Siksik di Yafa, Masjid Al-‘Umari Al-Kabir di Lod, dan Masjid ‘Ain Silwan di Al-Quds.

Dalam suratnya, Silman mengklaim telah menerima “keluhan berulang” terkait suara adzan yang dianggapnya melebihi ambang batas kebisingan. Tim kementeriannya disebut telah melakukan pengukuran suara yang menunjukkan “pelanggaran serius” terhadap hukum lingkungan, menurut versinya.

Hal yang mencolok dari pernyataan Silman adalah perubahan narasi: persoalan ini tidak lagi dianggap sekadar isu lingkungan, melainkan “perkara penegakan hukum dan tata kelola.”

Ia mendesak langkah-langkah tegas seperti pemasangan alat pemantau suara, denda besar-besaran, penyitaan pengeras suara, bahkan pembukaan kasus hukum terhadap imam dan pengurus masjid yang dianggap “melanggar.”

Adzan Diserang, Identitas Dihapus

Tidak berhenti di situ, Silman bahkan membandingkan kebijakan ini dengan negara-negara seperti Mesir dan Arab Saudi, yang katanya telah membatasi pengeras suara di masjid. Ia menyebut adanya “kekosongan hukum” di Israel yang menyebabkan fenomena adzan ini “semakin tak terkendali.”

Salah satu sasaran utama, Masjid ‘Ain Silwan di Al-Quds, memiliki posisi istimewa. Masjid bersejarah ini telah lama dikepung permukiman ilegal Israel dan mengalami tekanan berat. Jalan menuju masjid bahkan ditutup sejak 2022 oleh pemukim Yahudi setelah mereka menguasai area “Ard al-Hamra”, memicu kemarahan warga Al-Quds.

Pengamat menilai bahwa penyebutan masjid ini bukan kebetulan, melainkan bagian dari strategi sistematis untuk menghapus jejak Islam dari kota suci dan membungkam kehadiran umat Muslim di wilayah tersebut.

“Adzan Bukan Polusi, Tapi Identitas”

Ketua Komite Kebebasan di wilayah Palestina 1948, Syekh Kamal Al-Khatib, menilai langkah ini mencerminkan euforia kekuasaan yang dirasakan oleh ekstremis sayap kanan Israel. Menurutnya, di tengah agresi yang terus meningkat dan dukungan diam-diam dari sebagian negara Arab, Israel merasa bebas untuk menyerang simbol keislaman, termasuk mengkriminalisasi adzan.

“Serangan terhadap adzan bukan soal suara, tapi soal simbol. Ini adalah upaya untuk mencabut identitas Islam dari Al-Quds dan Palestina,” ujar Syekh Khatib kepada Al Jazeera Net. Ia menegaskan bahwa tindakan ini tidak akan berhasil, dan adzan akan tetap berkumandang sebagai bentuk perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan.

“Semakin mereka menekan, semakin kami berpegang pada identitas kami. Dan adzan adalah ruh perlawanan itu sendiri.”

“Bukan Sekadar Suara, Ini Soal Keberadaan”

Pakar hukum dan pembela Masjid Al-Aqsha, Khalid Zabarqa, menilai kebijakan Silman sebagai upaya terencana untuk memaksakan agenda Yudaisasi ekstrem di ruang publik Palestina. Ia menyebut upaya menyamakan adzan dengan “polusi suara” sebagai bentuk penyimpangan dan pemelintiran makna ibadah.

Zabarqa menambahkan, kebijakan ini senada dengan proyek “Negara Yahudi” yang mendorong penghapusan simbol-simbol Islam, mulai dari kubah masjid hingga suara adzan. Ia memperingatkan bahwa jika dibiarkan, kebijakan ini bisa meluas ke seluruh wilayah Palestina.

Lebih lanjut, ia mengaku pesimis terhadap upaya hukum di pengadilan Israel, yang menurutnya telah berubah menjadi alat legalisasi diskriminasi.

Seruan untuk Bangkit dan Melawan

Di tengah pesimisme terhadap jalur hukum, Zabarqa menyerukan kepada para tokoh dan masyarakat Palestina untuk melakukan mobilisasi massa dan menolak kebijakan ini secara langsung di lapangan.

“Ini bukan sekadar soal pengeras suara. Ini tentang eksistensi kita sebagai umat dan bangsa. Bila suara adzan mereka bungkam, lalu suara apa yang akan tersisa untuk mempertahankan Al-Aqsha?” tegasnya.

Zabarqa memperingatkan bahwa pemberlakuan kebijakan ini bisa memicu ledakan kemarahan di Al-Quds dan kota-kota Arab lainnya, karena adzan merupakan bagian dari identitas dan harga diri rakyat Palestina.

Meski Silman membungkusnya dengan alasan lingkungan, pesan dan waktunya tak bisa disembunyikan—ini adalah bagian dari kampanye sistematis Israel untuk menghapus apa yang tersisa dari identitas Islam dan Arab di tanah Palestina.

“Ini bukan perang suara. Ini perang eksistensi,” tutup Zabarqa.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here