Spirit of Aqsa- Pendiri dan ketua perusahaan militer swasta asal Afrika Selatan, “Executive Outcomes,” Ieben Barlow, menyatakan bahwa sulit membandingkan konflik di Afrika dengan konflik di Palestina. Menurutnya, tidak mungkin menerapkan model konflik dari Afrika ke kawasan lain seperti Timur Tengah. “Memahami konflik di Palestina sangat penting untuk mengerti semua yang ada di baliknya,” ujar Barlow dalam wawancara dengan Al Jazeera.
Penolakan Terlibat dalam Perang Palestina
Saat ditanya apakah perusahaan militer swasta sebaiknya menerima kontrak dari Israel untuk terlibat dalam perang melawan Palestina, Barlow menilai hal tersebut sangat sulit. “Perusahaan saya tidak akan terlibat dalam konflik yang tidak kami pahami lanskapnya, bahasa, budaya, serta kompleksitas etnis dan agamanya,” katanya. Ia menambahkan, perusahaan keamanan swasta harus memahami semua aspek ini sebelum menerima kontrak agar dapat memberikan dampak positif bagi pihak-pihak terkait.
Genosida dan Perang di Palestina
Terkait langkah pemerintah Afrika Selatan mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional atas tuduhan genosida yang dilakukan Israel terhadap Palestina, Barlow menyebut keputusan semacam ini merupakan domain pemerintah, meskipun selalu ada pendukung dan penentang. Ia menekankan pentingnya fokus pada masalah domestik sebelum mencoba menyelesaikan masalah luar negeri.
Barlow juga mengomentari perilaku militer di wilayah padat penduduk, mengingat lebih dari 45 ribu warga Palestina, mayoritas sipil, tewas dalam 13 bulan terakhir akibat serangan Israel. Menurutnya, operasi militer di wilayah padat penduduk sangat berisiko terhadap korban sipil. “Tanpa perencanaan yang presisi, hasilnya adalah kehancuran besar,” ujarnya. Namun, ia skeptis terhadap konsep “serangan bedah” yang sering dianggap mampu meminimalkan dampak.
Tidak Ada Kesamaan dengan Apartheid
Saat ditanya soal deskripsi Israel sebagai negara apartheid, Barlow yang pernah bertugas di militer dan intelijen Afrika Selatan selama era apartheid, menegaskan bahwa situasinya sangat berbeda. Ia menyebut apartheid di Afrika Selatan lebih terkait dengan kontrol gerakan masyarakat, sementara Israel terlibat dalam pendudukan langsung atas wilayah Palestina. “Kami tidak pernah menginvasi atau menjajah siapa pun di Afrika Selatan,” tegasnya.
Ia juga mengkritik standar ganda internasional, di mana Afrika Selatan dikenai sanksi berat atas apartheid, tetapi Israel tidak menerima tekanan serupa atas kejahatan terhadap Palestina. Menurutnya, ini adalah bentuk “kemunafikan internasional.”
Hak Perlawanan Palestina
Barlow menyatakan bahwa pejuang Palestina yang melawan pendudukan di tanah mereka seharusnya tidak disebut teroris. “Mereka berjuang untuk apa yang mereka yakini sebagai hak mereka, sama seperti saya akan melakukannya jika negara saya dijajah oleh kekuatan asing,” katanya.
Ia menyimpulkan bahwa sejarah akan lebih keras menghakimi Israel dibandingkan sistem apartheid, terutama mengingat meningkatnya oposisi Eropa terhadap tindakan Israel di Gaza dan Lebanon. “Namun, terlepas dari itu, solusi politik tetap diperlukan,” katanya.
Barlow menegaskan, tidak mungkin memusnahkan keyakinan dan prinsip rakyat. “Anda tidak dapat membunuh semua orang, apalagi membunuh keyakinan mereka,” pungkasnya.
Sumber: Al Jazeera