Spirit of Aqsa- Sedikit demi sedikit, kehidupan mulai kembali ke kawasan timur Kamp Pengungsi Bureij, yang terletak di dekat perbatasan antara Israel dan Gaza, beberapa hari setelah gencatan senjata diberlakukan.
Sejak awal perang Israel terhadap Gaza pada 7 Oktober 2023, penduduk wilayah yang dikenal sebagai “Blok 12” terpaksa meninggalkan rumah mereka untuk menghindari serangan udara yang terus-menerus dan perintah evakuasi dari militer Israel.
Beberapa warga memilih untuk kembali dan tinggal di bagian rumah mereka yang masih bisa diperbaiki, sementara yang lain berencana mendirikan tenda di atas reruntuhan rumah mereka. Namun, sebagian warga lebih berhati-hati, takut Israel melanjutkan kembali perang di Gaza.
Kerusakan Besar
Ibtisam Al-Awawda merasa dirinya beruntung karena mendapati rumahnya masih “berdiri”, meski mengalami kerusakan parah.
Sambil menunjuk ke arah kehancuran besar di sekitar, Ibtisam mengatakan, “Saya masih lebih baik dibandingkan yang lain.”
Semua ruangan di rumahnya mengalami kerusakan serius. Dinding timur dapurnya hancur, sementara retakan besar terlihat di semua ruangan, dan beberapa bagian bangunan ambruk.
Selama 15 bulan perang, Ibtisam dan keluarganya yang terdiri dari tujuh orang harus berpindah-pindah dari satu tempat pengungsian ke tempat lain di berbagai wilayah Gaza, termasuk Nuseirat, Deir al-Balah, dan Zawaida.
Ia beberapa kali mencoba kembali ke rumahnya, tetapi selalu terpaksa pergi lagi karena serangan udara yang tiba-tiba atau perintah evakuasi dari militer Israel.
“Hidup kami sangat sulit. Kadang kami kembali saat situasi terasa tenang, tetapi tiba-tiba serangan terjadi lagi. Kami harus lari, bahkan kadang berjalan kaki di bawah hujan peluru ke Nuseirat atau Zawaida,” katanya kepada Al Jazeera.
Serangan Israel menyebabkan enam kerabatnya syahid, termasuk cucunya. Sebagian besar rumah kerabatnya hancur, sementara lahan pertanian mereka diratakan.
Meski menghadapi risiko besar, Ibtisam memutuskan untuk kembali. “Saya lelah hidup di pengungsian atau tenda. Saya ingin duduk di rumah saya, meski hanya di dekatnya,” katanya.
Tenda di Atas Reruntuhan
Tidak jauh dari sana, Sami Al-Saafin sedang memeriksa kehancuran total rumahnya yang berukuran 200 meter persegi dan dikelilingi taman kecil.
“Seperti yang Anda lihat, rumah saya benar-benar hancur. Ada empat apartemen di dalamnya dan taman kecil. Semuanya hilang,” katanya dengan nada pilu kepada Al Jazeera.
Setiap hari, Sami datang ke rumahnya dan mencoba mengambil barang-barang dari reruntuhan bangunan yang saling menimpa.
Sami mengisahkan penderitaannya selama perang. Ia meninggalkan rumah pada hari pertama perang, mengungsi ke Nuseirat, lalu ke Rafah. Saat Rafah diserbu Israel pada Mei 2024, ia kembali lagi ke Nuseirat.
Karena lelah tinggal di tempat pengungsian, Sami berencana mendirikan tenda atau rumah kontainer di dekat rumahnya. Namun, ia masih menunggu hasil negosiasi tahap kedua gencatan senjata, khawatir perang kembali berkobar.
Nasib Sami tidak jauh berbeda dengan tetangganya, Samir Al-Khalidi. Rumah lima lantai milik Samir, yang juga memiliki taman kecil, dihuni oleh 25 orang, hancur total pada 27 Desember 2023.
Kerugiannya sangat besar, karena rumahnya juga digunakan sebagai pabrik kecil untuk memproduksi peralatan restoran.
Samir belum memutuskan apa yang akan dilakukan ke depan. Ia menghabiskan waktu setiap hari memeriksa sisa-sisa bangunan. “Mungkin saya akan mendirikan tenda di sini,” katanya, tetapi menambahkan, “Kami takut Israel kembali menyerang. Tidak ada jaminan keamanan.”
Jalan Kematian
Kisah Adnan Al-Awawda sedikit berbeda. Ia kembali ke wilayah tersebut dua minggu sebelum gencatan senjata diberlakukan.
Adnan mengambil keputusan berisiko ini karena sulitnya hidup di tenda di pantai Deir al-Balah selama musim dingin.
“Hidup di tenda di pantai saat musim dingin tidak mungkin. Kami memilih risiko ini daripada tinggal di sana,” katanya.
Rumah Adnan hancur pada Desember 2023 sehingga tidak dapat dihuni lagi. Ia menyewa garasi di dekat rumahnya dan tinggal di sana bersama keluarganya.
Adnan kehilangan putranya, Ahmad, yang berusia 23 tahun, pada awal perang. Sebelum gencatan senjata, hanya ada tiga keluarga yang tinggal di wilayah itu.
“Kami hidup dalam ketakutan luar biasa,” katanya, menjelaskan bagaimana mereka harus berhati-hati, tidur lebih awal sebelum matahari terbenam, tidak menyalakan lampu, atau membuat suara sekecil apa pun.
Adnan menunjuk ke sebuah jalan yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. “Ini adalah Jalan Kematian. Siapa pun yang melewati jalan ini akan langsung diserang pesawat Israel,” jelasnya.
Ia juga menceritakan bagaimana sebuah pesawat tanpa awak Israel menembakkan roket ke arah sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan dua anak. Serangan itu menewaskan seluruh anggota keluarga tersebut.
Sumber: Al Jazeera