Di tengah reruntuhan perang yang membakar Gaza, seorang remaja bernama Yusuf al-Samri (15 tahun) berdiri di depan seorang penjual roti. Wajahnya pucat, perutnya melilit, matanya menyimpan lelah karena kelaparan yang mencuri tidurnya. Ia hanya ingin satu roti, sekadar meredam jeritan lapar yang merobek perutnya. Namun ketika ia bertanya harga, si penjual menjawab: delapan syikal — setara lebih dari dua dolar — angka yang tak dimilikinya.
Dengan harap-harap cemas, Yusuf mengedarkan pandangan, berharap ada dapur umum yang masih membagikan makanan. Tapi yang ia temukan hanyalah antrean orang-orang kelaparan menanti makanan dingin yang bahkan tidak layak untuk dikunyah.
Lapar dan putus asa menggigitnya dari dalam. Ia menoleh ke ayahnya yang menemaninya, dan berkata dengan mata menyala seperti bara, “Aku akan ke sekolah tempat kita mengungsi. Di sana masih ada makanan. Aku hanya punya dua pilihan: kembali membawa tepung, atau tidak kembali sama sekali. Aku siap dengan dua-duanya.”
Ayahnya mencoba menahannya, memohon agar Yusuf tidak pergi sendirian. Tapi sang anak menjawab dengan tenang, “Lebih baik satu yang mati, daripada kita berdua. Doakan saja aku selamat.”
Dalam perjalanan, Yusuf menyaksikan tubuh-tubuh tak bernyawa — mereka yang juga mencoba mencari makan, namun gagal kembali. Namun langkahnya tak gentar. Ia tiba di bekas sekolah Sa’ad bin Mu’adz di lingkungan at-Tuffah, tempat keluarganya dulu berlindung sebelum melarikan diri tanpa sempat membawa bekal.
Dengan cepat, ia mengisi tas sekolahnya dengan beberapa kantong mi instan—pengganti tepung yang mulai langka. Ia kemudian mengangkat kantong tepung yang berat ke pundaknya.
“Demi Allah, aku menjerit kegirangan waktu berhasil mengangkatnya,” katanya kepada Al Jazeera.
“Aku merasa seperti pejuang yang memenangkan pertempuran.”
Dalam perjalanan pulang, banyak orang menawarinya uang untuk membeli tepung itu. Tapi Yusuf menolaknya satu per satu,
“Ini untuk ibu. Kami hanya ingin makan.” Tapi kemenangan kecil Yusuf direnggut dalam sekejap. Sebuah drone melemparkan bom ke arahnya. Ia merasa tubuhnya melayang jatuh ke dalam lubang. Ia tak sadar bahwa kakinya hancur seketika. Ia hanya sempat mengucap syahadat sebelum kesadarannya menghilang.
Saat sadar di rumah sakit Baptis, Yusuf mendapati tangan ayahnya menggenggam erat tangannya. Dengan suara lirih ia mengucap, “Alhamdulillah.” Namun di balik genggaman itu, sang ayah menyimpan derita. Dokter menyampaikan bahwa kedua kaki Yusuf harus diamputasi. Ia juga kehilangan sebagian limpa dan 70% salah satu testisnya. Yusuf belum sepenuhnya menyadari kenyataan pahit itu.
Setelah beberapa malam, ketika semua orang terlelap, Yusuf mengumpulkan keberanian untuk menyentuh kakinya. Tapi yang ia dapati hanyalah kehampaan.
“Tangan saya hanya memegang udara. Saat itu saya sadar: kaki saya sudah tiada,” tuturnya lirih. Ketika ditanya apa yang pertama kali terlintas di benaknya, Yusuf menjawab, “Sepak bola. Saya suka sekali bermain bola. Tapi kemudian saya berpikir, mana yang lebih menyakitkan: kelaparan atau kehilangan kaki?”
Yusuf bukan satu-satunya yang membayar mahal untuk sesuap makanan. Dua saudara lainnya — Khaled dan Karim — juga gugur dalam usaha yang sama. Bersama ayah mereka, Adil Hallas, mereka kembali ke rumah di kawasan Shuja’iyah untuk mengambil sisa tepung.
Di sana, sang ayah hanya ingin menikmati secangkir teh sebagai penghangat jiwa, sementara kedua anaknya mencari bahan makanan. Tapi momen sederhana itu direnggut oleh rudal dari drone. Dua bersaudara itu gugur di tempat, sementara sang ayah terluka parah.
“Saya hanya butuh setengah jam untuk kehilangan segalanya,” ucap sang ibu dengan suara gemetar.
Ia dan putrinya, Rowan, segera berlari ke lokasi setelah mendengar suara ledakan. Namun yang mereka temukan hanyalah kepulan asap dan kabar duka yang lebih cepat dari langkah mereka.
Rowan menemukan tubuh kedua saudaranya tak bernyawa, tertimbun puing-puing. Ia berteriak histeris, mencoba menarik tubuh mereka dengan tangan kosong. Hingga seorang kerabat datang membantunya mengangkat jenazah dari reruntuhan.
Keluarga Yusuf dan keluarga Hallas bukan satu-satunya. Di tenda pengungsian lainnya, dua bersaudara Mutasim dan Mu’adz Rajab juga tak kembali setelah keluar rumah untuk mengambil makanan. Selama 24 jam, ponsel mereka tak menjawab.
Ayah mereka, Adham Rajab, tak kuat menunggu. Ia nekat pergi sendiri ke rumah mereka yang sudah rata dengan tanah.“Saya mengucap syahadat di setiap langkah,” katanya kepada Al Jazeera.
“Tapi yang saya temukan hanyalah puing dan keheningan.”
Hingga akhirnya ia mendapat telepon dari anak ketiganya: “Kami menemukan jenazah Mutasim dan Mu’adz di rumah sakit Baptis. Mereka termasuk dalam daftar syuhada tak dikenal.”
Dengan air mata tertahan, Adham berkata, “Mereka pergi tanpa bilang. Kalau saya tahu, saya takkan izinkan mereka berangkat.”
Ini bukan pertama kalinya keluarganya kehilangan anak karena alasan yang sama. “Mereka hanya ingin mengambil makanan dari rumah. Tapi malah kehilangan nyawa,” ucapnya lirih.
“Mereka bukan tentara, tak bersenjata, bahkan memakai pakaian olahraga. Tapi justru itu yang membuat mereka jadi target.”
Harga Sebuah Roti: Nyawa
Bukan hanya satu dua keluarga yang kehilangan anak demi setangkup roti. Menurut juru bicara Pertahanan Sipil Palestina, Mahmoud Basal, lebih dari 20 warga gugur dan puluhan lainnya terluka dalam beberapa hari terakhir — hanya karena mencoba kembali ke rumah mereka di wilayah timur Gaza untuk mengambil tepung dan makanan.
“Banyak jenazah diangkut dengan kereta keledai,” katanya.
“Sebagian masih tergeletak di jalanan, dimakan anjing liar. Sebagian syahid di dalam rumah mereka, bahkan sebelum sempat membuka lemari dapur.”
Sejak Maret lalu, Israel memperketat blokade atas Gaza. Pintu perlintasan ditutup, bantuan makanan dilarang masuk. Lembaga internasional menyebut truk-truk bantuan yang masuk ke Gaza selatan sebagai “titik air di tengah lautan kebutuhan.”
Gaza utara bahkan lebih tragis—terputus total dari pasokan makanan.Pilihan bagi dua juta warga Gaza semakin menyempit: menunggu mati karena lapar, atau mencoba mencari makan dan mati di tengah jalan.
Sumber: Al Jazeera