Spirit of Aqsa- Fouad Abu Aouda lolos dari kematian, melompati puing-puing yang berserakan di tanah. Dentuman bom mengejar langkahnya saat ia berusaha membawa anak-anaknya menjauh dari lingkaran ketakutan. Namun, upaya itu terhenti ketika sebuah roket terakhir menghancurkan penglihatannya, membuat dunia berubah menjadi kegelapan abadi.
“Setelah sadar, saya mulai merangkak, tapi selalu terbentur reruntuhan. Saya meraba wajah dan menemukan darah mengalir dari mata saya,” ujar Fouad, 29 tahun, kepada Al Jazeera. Kini, ia kehilangan pekerjaan sebagai tukang bangunan dan bakatnya sebagai pelukis. Hidupnya diwarnai kesulitan, termasuk hanya untuk mencari seteguk air. “Lillah ma akhaza wa lillah ma a’tha (Milik Allah apa yang Dia ambil dan milik Allah apa yang Dia berikan). Alhamdulillah,”ujarnya.
Teror Pengungsian
Fidaa Al-Rifi, 35 tahun, seorang perempuan dengan kelumpuhan setengah badan sejak usia 12 tahun, harus menghadapi ancaman pengungsian berulang kali akibat serangan Israel. “Saya sudah mengungsi enam kali. Setiap kali, saya hanya bisa memikirkan bagaimana mendorong kursi roda melewati jalan-jalan yang hancur,” katanya. Keterbatasan fisik dan lingkungan yang tidak mendukung membuat Fidaa memutuskan untuk tetap tinggal di rumah, meskipun risikonya adalah kematian.
Selain tantangan fisik, Fidaa menderita penyakit kulit kronis yang memburuk di musim dingin. Ia bahkan kesulitan mendapatkan obat-obatan sederhana atau minyak zaitun sebagai pengganti, yang kini harganya melonjak hingga 40 dolar. “Kami butuh bantuan seperti kursi roda, tongkat, dan obat-obatan, tapi tak ada yang peduli,” keluhnya.
Nasib Penyintas dengan Luka Fisik
Fatimah, yang kehilangan satu kaki, telah mengungsi lima kali dengan bantuan tongkatnya. Ia mengungkapkan bahwa tempat-tempat pengungsian tidak layak huni, apalagi untuk penyandang disabilitas. “Kami tidur di lantai, fasilitas mandi tidak memadai, dan lingkungan tidak ramah bagi kami,” ujarnya.
Sementara itu, Majd Al-Shagnoubi, 14 tahun, mengalami cacat wajah permanen akibat terkena pecahan roket dalam serangan di Gaza. Ia hanya bisa bernapas melalui lubang di lehernya, dan membutuhkan perawatan medis yang tidak tersedia di Gaza. Ibunya mengatakan, “Kami sudah 10 bulan bolak-balik rumah sakit, tapi kondisinya terus memburuk.”
Peringatan Global yang Menyakitkan
Di tengah peringatan Hari Disabilitas Internasional setiap 3 Desember, penderitaan penyandang disabilitas di Gaza menjadi pengingat pahit atas pelanggaran hak asasi manusia. Lebih dari 300 penyandang disabilitas terbunuh dalam agresi terakhir Israel, sementara ribuan lainnya mengalami cacat akibat perang.
Israel juga menghancurkan fasilitas kesehatan dan pendidikan bagi penyandang disabilitas, memaksa mereka tinggal di kamp pengungsian tanpa fasilitas yang memadai, sehingga memperburuk penderitaan fisik dan mental mereka.
Menurut data Pusat Statistik Palestina, Gaza memiliki sekitar 130 ribu penyandang disabilitas sebelum perang. Kini, jumlah itu bertambah 23 ribu akibat perang dan penurunan layanan kesehatan yang drastis.
Penderitaan ini mencerminkan pelanggaran berat terhadap hukum internasional yang terus diabaikan oleh Israel.