Ketika warga Gaza masih dicekik oleh kelaparan akibat blokade militer Israel, kini mereka dihadapkan pada krisis baru yang tak kalah mematikan: air bersih kian langka. Ratusan ribu pengungsi kini hanya bisa berharap pada seteguk air, sementara banyak stasiun penyulingan air telah berhenti beroperasi karena kehabisan bahan bakar.
Kondisi ini membuka peluang bencana kehausan massal yang mengancam lebih dari 2,2 juta jiwa. Di kamp-kamp pengungsian, anak-anak terlihat membawa wadah-wadah kosong berkeliling mencari air, sedangkan orang tua mereka rela mengantre di bawah terik matahari menunggu satu-satunya truk air yang bisa datang dalam sehari.
Air Bersih: Kini Jadi Impian
Mayoritas warga Gaza hanya bisa mengandalkan lembaga-lembaga amal dan relawan untuk mendapatkan air bersih. Namun, beban yang mereka pikul sudah terlalu berat.
“Krisis air telah mencapai titik kritis,” ujar Ahmad Abdo, koordinator salah satu inisiatif kemanusiaan, kepada Al Jazeera.
Menurutnya, sebagian besar stasiun penyulingan tak lagi mampu beroperasi, entah karena kehabisan solar atau kerusakan teknis yang tak bisa diperbaiki akibat ketiadaan suku cadang. Beberapa fasilitas bahkan terpaksa ditutup setelah warga mengungsi besar-besaran dari wilayah utara menyusul perintah evakuasi Israel.
“Kami bahkan harus menghentikan tiga proyek air minum karena tak mampu lagi menyuplai,” lanjut Abdo.
Ia menyebutkan bahwa pada hari Sabtu, hanya satu truk air yang berhasil mereka distribusikan, padahal sebelumnya bisa mencapai 4–5 truk per hari. Air dalam truk itu pun langsung habis diserbu warga, meninggalkan banyak yang pulang dengan tangan kosong.

Perusahaan Air Terancam Tutup
Sementara banyak fasilitas sudah berhenti, perusahaan penyedia air terbesar di Gaza, ETA (Abd al-Salam Yassin Company), masih berjuang agar tetap bisa menyuplai air. Mereka bekerja sama dengan lembaga-lembaga seperti UNICEF dan Palang Merah untuk mendistribusikan air bersih secara gratis.
Namun, harapan itu kian tipis. UNICEF menghentikan dukungan mereka 10 hari lalu, karena tidak lagi mampu menyuplai bahan bakar. ETA pun terpaksa mengumumkan permintaan publik agar warga bersedia membeli solar untuk menyelamatkan operasional stasiun mereka.
“Sejak 2 Maret, tidak ada solar yang masuk ke Gaza,” ujar Mahmud Shaleh, insinyur ETA.
Sisa cadangan mereka (termasuk yang dibeli dari pasar gelap dengan harga 33 dolar per liter) sudah hampir habis. Padahal, kebutuhan harian mereka mencapai 3.000–4.000 liter untuk tiga fasilitas penyulingan dan distribusi.
ETA juga mengalami kerugian besar. Kantor pusat mereka di Hayy al-Zaytun hancur dibombardir Israel. Truk-truk air mereka pun ikut jadi sasaran.
“Disiksa Lewat Dahaga”
Ismail Al-Thawabta, Kepala Kantor Informasi Pemerintah Gaza, menyebut krisis ini sebagai bagian dari kejahatan sistematis Israel untuk melenyapkan rakyat Gaza.
“Kami menghadapi genosida lewat kelaparan dan kini lewat kehausan,” tegasnya kepada Al Jazeera.
Ia menekankan bahwa 97% air di Gaza tak layak minum, dan satu-satunya harapan hidup rakyat adalah dari stasiun penyulingan yang kini lumpuh.
“Situasi ini berpotensi menimbulkan bencana kesehatan dan lingkungan, terutama saat musim panas dan dengan jumlah pengungsi yang sangat besar di kamp-kamp yang minim fasilitas.”
Al-Thawabta juga mengkritik lembaga internasional yang gagal memenuhi janjinya, dan menyatakan bahwa Israel, AS, serta dunia internasional yang memilih bungkam ikut bertanggung jawab atas kejahatan ini.
“Ini adalah bentuk pelanggaran terang-terangan terhadap hukum kemanusiaan internasional dan Konvensi Jenewa,” pungkasnya.