Menjelang tengah malam Sabtu (21/6) menuju Ahad, pasukan pendudukan Israel menyerbu Masjid Al-Aqsha. Mereka menggeledah sejumlah ruangan, termasuk ruang pemadam kebakaran dan beberapa area dalam masjid, serta menangkap empat penjaga yang kemudian dibebaskan dengan syarat.

Menurut Pusat Informasi Wadi Hilweh di Al-Quds, keempat penjaga yang ditangkap (Ramzi Az-Za’aanin, Basem Abu Jum’ah, Iyad ‘Udeh, dan Muhammad ‘Arbash) bertugas dalam unit malam. Polisi pendudukan membebaskan mereka dengan syarat harus kembali menjalani pemeriksaan kapan pun diminta.

Dalam penggerebekan tersebut, polisi Israel membongkar isi ruangan secara brutal, menjatuhkan mushaf Al-Qur’an ke lantai, dan merusak laci-laci serta fasilitas lainnya di dalam ruang shalat Masjid Al-Aqsha lama. Foto-foto dari lokasi menunjukkan tingkat vandalisme yang mengkhawatirkan.

Alasan Penggerebekan: Dalih Keamanan atau Agenda Lain?

Serbuan ini terjadi di hari ke-10 pengetatan penuh akses ke Masjid Al-Aqsha dengan dalih larangan berkumpul dari “komando belakang” militer Israel, sebagai respons atas eskalasi antara Israel dan Iran.

Kendati otoritas Israel sempat mengurangi larangan tersebut pada Rabu malam, jumlah jamaah yang diizinkan masuk ke masjid tetap dibatasi hingga tak lebih dari 450 orang. Namun, ketika AS melancarkan serangan udara ke tiga fasilitas Iran, larangan kembali diperketat, semua pintu Al-Aqsha ditutup kembali.

Reaksi Para Ulama dan Aktivis

Syekh Ikrimah Shabri, khatib Masjid Al-Aqsha dan Ketua Dewan Tinggi Islam Al-Quds, mengecam keras penyerbuan malam itu. Ia menyebutnya sebagai “pelanggaran atas kesucian masjid dan intervensi terhadap otoritas wakaf Islam.”

“Ini adalah upaya menakut-nakuti penjaga malam dan membungkam aktivitas mereka, yang seharusnya berada di bawah kewenangan penuh Wakaf Islam. Ini belum pernah terjadi sebelumnya dan berbahaya,” tegasnya.

Syekh Shabri menambahkan, pembatasan jumlah jamaah setiap Jumat merupakan tindakan yang melukai kebebasan beribadah dan mencampuri urusan internal umat Islam.

“Al-Aqsha harus selalu terbuka bagi siapa pun dari kalangan Muslim, tanpa syarat jumlah ataupun izin.”

Tujuan Terselubung: Kosongkan Al-Aqsha dari Para Penjaga?

Dr. Abdullah Ma’ruf, akademisi dan mantan pejabat hubungan media di Masjid Al-Aqsha, menilai penyerbuan ini bisa menjadi bagian dari strategi berbahaya untuk mengosongkan masjid dari penjaga-penjaganya.

“Jumlah penjaga sangat sedikit saat ini,” ungkapnya.

“Israel terus menolak permintaan penambahan personel dan bahkan mengancam melarang mereka masuk ke kompleks masjid.”

Ia juga menyatakan kekhawatirannya bahwa kelompok ekstremis dalam pemerintahan Israel, terutama kalangan Zionis religius, melihat eskalasi ini sebagai momentum untuk mewujudkan obsesi mereka menguasai Al-Aqsha, demi memenuhi narasi “akhir zaman” yang mereka yakini.”

Saya khawatir mereka sedang menyiapkan skenario berbahaya yang bisa memicu kekacauan besar demi ambisi keagamaan yang irasional,” ujarnya.

Perlawanan Masyarakat Lokal Jadi Tembok Pertahanan Terakhir

Dr. Ma’ruf menekankan bahwa masyarakat Al-Quds menjadi garis pertahanan terakhir bagi Al-Aqsha.

“Mereka harus berdiri dan mencegah semua bentuk pelanggaran yang kini berlangsung,” serunya.

Apalagi, lanjutnya, akses ke Kota Tua Al-Quds saat ini dibatasi total. Hanya penduduk yang boleh masuk, dan siapa pun dari luar tak bisa menjangkau kiblat pertama umat Islam. Dalam setiap eskalasi atau konflik besar, Israel selalu menjadikan Al-Aqsha sebagai alat tawar dan arena pertarungan politik demi memperluas pengaruh kelompok ekstrem Yahudi.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here