Ketika tekanan cuaca mereda hanya beberapa jam, penderitaan para pengungsi di Gaza tak ikut surut. Di jalan-jalan dan permukiman yang berubah menjadi kamp darurat, tenda-tenda yang tak pernah dirancang untuk kehidupan manusia kembali diuji. Kain usang menggantung, tali-tali koyak terayun, sementara para penghuninya berusaha menambal kerusakan yang ditinggalkan malam panjang berisi angin kencang dan hujan deras.

Redanya badai menjadi jeda singkat untuk menarik napas. Warga memanfaatkannya menutup lubang, menancapkan kembali pasak, sebelum langit kembali menumpahkan hujan. Waktu bergerak cepat, sementara perlindungan nyaris tak pernah cukup.

Gelombang cuaca buruk mengubah Gaza menjadi lanskap kacau. Potongan kayu patah dan plastik robek berserakan di jalan, tenda-tenda beterbangan dan runtuh di atas penghuninya. “Kami tidak tidur sama sekali,” ujar seorang pengungsi sambil menarik kain tenda dengan tangan gemetar.

Suaranya parau, bercampur lelah dan putus asa. “Sepanjang malam kami menutup lubang. Tenda jatuh menimpa kami. Angin dan hujan tidak memberi ampun.”

Di belakangnya berdiri tiga anak yang sakit, satu di antaranya mengalami kelumpuhan sebagian, satu lainnya menderita penyakit jantung yang tak sanggup menahan dingin. Ia menunjuk anak perempuannya.

“Tubuhnya membiru karena kedinginan. Saya tak bisa membawanya ke mana-mana. Saya juga tak tahu harus ke mana.”


Ratusan Tenda Terendam
Di sepanjang jalan, ratusan tenda terendam air. Di lingkungan yang sama, puluhan lainnya ambruk. Malam terasa begitu berat, dan siang tak menjanjikan perlindungan apa pun.

Pengungsi lain menggenggam potongan besi dan aluminium, berusaha menegakkan kembali tendanya. “Kami terjaga demi anak-anak,” katanya.

“Tenda terbalik saat kami tidur. Kami bangun dalam hujan dan dingin.”

Ia menyebut badai kali ini sebagai yang terburuk selama dua tahun perang. “Semuanya jungkir balik,” ujarnya, sebelum menutup dengan kalimat pasrah yang kerap terdengar di Gaza: alhamdulillah.


Peralatan yang tersedia amat sederhana. Kayu seadanya dan karung pasir tak sanggup melawan angin yang mencabut tenda dari tanah.

“Kami benar-benar terpuruk,” kata pria itu, pakaiannya basah kuyup. “Rumah saya hancur total. Barang-barang yang sempat diselamatkan robek oleh serpihan. Saya hanya ingin tenda, terpal, apa pun yang bisa menutup kami. Sekarang kami dan jalanan seolah tak ada bedanya.”

Di lorong-lorong kamp, anak-anak mengelilingi tenda yang runtuh semalam. Sejumlah keluarga kebingungan mencari tempat bermalam. Wajah-wajah pucat memikul kelelahan yang tak kunjung reda.Seorang

Seorang perempuan pengungsi yang tengah merapikan sisa barang berkata lirih, “Anginnya sangat kencang. Kebanyakan yang menderita adalah anak-anak. Tidak ada alas tidur. Tenda tidak melindungi dari hujan dan dingin. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”


Di Mana Hak Anak?
Saat ditanya tentang malam berikutnya, jawabannya singkat, nyaris datar. “Sama seperti setiap malam. Sudah setahun kami hidup begini.”

Lalu ia menyampaikan seruan yang menggugah: “Lihatlah anak-anak kami. Di awal perang mereka mati kelaparan. Sekarang mereka mati kedinginan.Mereka

Mereka bicara tentang hak anak, sementara anak-anak kami sekarat.”
Ia menunjuk putranya yang sakit, menderita gangguan pencernaan dan sakit kepala berkepanjangan. “Semua penyakit datang karena dingin. Tenda ini tidak layak bahkan untuk hewan, apalagi manusia.”

Di Gaza, badai tak benar-benar berakhir saat awan menyingkir. Angin boleh pergi, hujan bisa berhenti, tetapi tenda tetap rapuh, dingin menetap, dan penantian kian berat. Di antara malam yang tak tertahankan dan siang tanpa tempat berlindung, para pengungsi terus bertahan, mencari perlindungan sementara, dalam hidup yang tak lagi mengenal kepastian.

Sumber: Al Jazeera Mubasher

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here