Dengan berakhirnya tahap pertama perjanjian gencatan senjata dan pertukaran tahanan di Gaza, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, menurut laporan diplomatik dan media, bersiap kembali ke pilihannya yang lebih disukai: perang terbuka terhadap Gaza dengan tujuan strategis menghabisi perlawanan Palestina.

Netanyahu menggelar konsultasi dengan para pemimpin badan keamanan dan sejumlah menteri terkait tahap kedua dari perjanjian Gaza, setelah Hamas menolak memperpanjang tahap pertama seperti yang diinginkan Tel Aviv, bertentangan dengan kesepakatan awal.

Menurut laporan Channel 14 Israel, pertemuan itu sepakat untuk mencegah Hamas bernegosiasi tanpa lebih dulu membebaskan tawanan. Sementara itu, Channel 13 Israel mengutip seorang pejabat Israel yang menegaskan bahwa Israel menolak menarik diri dari Gaza dan mengakhiri perang.

Manuver Negosiasi

Menanggapi langkah-langkah Israel ini, peneliti senior di Al Jazeera Center for Studies, Dr. Liqaa Maki, dalam program Masar Al-Ahdath, mengatakan bahwa Israel ingin mendapatkan melalui negosiasi apa yang gagal mereka capai melalui perang.

Ia menilai ancaman Netanyahu untuk kembali berperang hanya sebagai “manuver negosiasi,” terutama karena Presiden AS Donald Trump tidak menginginkan perang, dan opsi itu pun tidak akan berhasil meskipun mendapat mandat dari Washington.

Menurut Maki, Netanyahu menunggu dua peristiwa penting sebelum menentukan sikapnya.

Pertama, KTT Arab yang akan membahas rencana Mesir terkait Gaza.

Kedua, kedatangan utusan AS untuk Timur Tengah, Steven Weiktoff, ke kawasan tersebut.

Kartu Tawanan

Menurut penulis dan analis politik Wissam Afifa, perang yang diancamkan Israel masih menjadi opsi terjauh saat ini. Namun, Hamas pasti akan bersiap menghadapi kemungkinan itu dengan mengambil pelajaran dari pengalaman satu setengah tahun perang Israel di Gaza.

Afifa menambahkan bahwa posisi negosiasi Hamas didasarkan pada satu poin penting: adanya perjanjian yang harus dijalankan dalam tiga tahap. Hamas masih memiliki kartu tawanan, yang bisa menjadi alat tawar untuk tahap-tahap berikutnya.

Terkait skenario yang dihadapi Hamas—baik memperpanjang tahap pertama perjanjian, meningkatkan eskalasi, atau menunda tahap kedua—keputusan Hamas, menurut Afifa, akan bergantung pada keuntungan yang bisa mereka peroleh dari pihak-pihak terkait.

Ia menegaskan bahwa perpanjangan tahap pertama perjanjian tidak dapat diterima oleh Hamas. Namun, jika ada kesepakatan alternatif yang disetujui semua pihak, termasuk mediator, maka Hamas mungkin akan menerima, terutama jika terkait dengan situasi kemanusiaan di Gaza.

Mengenai usulan perlucutan senjata di Gaza, Afifa menilai Gaza adalah kasus yang unik dan kompleks, sehingga tuntutan seperti itu tidak realistis.

Dilema Netanyahu

Sementara itu, jurnalis spesialis urusan Israel, Ihab Jabarin, menunjukkan adanya kontradiksi dalam kebijakan Israel, terutama pada Netanyahu. Ia berada dalam dilema antara keharusan membebaskan tawanan Israel yang ditahan Hamas dan ambisinya untuk menghancurkan Hamas di Gaza.

Jabarin mengatakan bahwa dalam jangka panjang, Netanyahu ingin menggulingkan pemerintahan Hamas. Namun, dalam jangka pendek, ia berupaya memperpanjang tahap pertama perjanjian guna memastikan pemulangan jenazah tawanan Israel.

Dari sudut pandang AS, Wakil Pemimpin Redaksi Washington Times, Tim Constantine, mengatakan bahwa utusan AS, Weiktoff, akan kembali ke kawasan dan berupaya mendorong tahap kedua perjanjian Gaza, dengan menekankan pentingnya menjaga gencatan senjata.

Ia juga menilai bahwa langkah Israel saat ini hanyalah “taktik negosiasi” dan menegaskan bahwa Hamas tidak akan dirugikan jika tahap pertama perjanjian diperpanjang selama lima hari, selama perang belum dimulai.

Tahap kedua negosiasi perjanjian pertukaran tawanan dan gencatan senjata di Gaza seharusnya dimulai pada 3 Februari lalu, sesuai kesepakatan yang mulai berlaku pada 19 Januari 2025.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here