“Gaza sedang sekarat perlahan, setiap menitnya,” demikian pengakuan pilu dr. Victoria Rose, seorang dokter bedah asal Inggris yang baru kembali dari misi kemanusiaan di Gaza. Selama 23 hari bertugas di Rumah Sakit Nasser, Khan Younis, ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri, 60 anak meninggal karena kelaparan. Bukan karena bom, bukan karena luka perang, tapi karena lambung yang kosong dan dunia yang diam.
Rose adalah bagian dari misi medis gabungan yang digelar oleh Islamic Relief dan organisasi IDEALS dari Inggris. Ia menggambarkan kondisi kesehatan dan kemanusiaan di Gaza sebagai “memburuk dari menit ke menit”, dengan kematian anak-anak akibat kelaparan yang terus bertambah.
“Ketika saya dan rekan saya, dokter Graham, bertugas di Nasser, kami kehilangan 60 anak dalam waktu kurang dari sebulan. Angka itu terus bertambah, dan setiap wajah kecil yang kami lihat adalah tudingan diam terhadap dunia yang gagal,” ujarnya kepada Anadolu.
Ia menegaskan bahwa akses makanan kini nyaris mustahil. “Satu-satunya sumber bantuan makanan adalah dari apa yang disebut ‘Lembaga Bantuan Kemanusiaan Gaza’, yang didukung Israel dan AS. Tapi semua orang Palestina tahu: mendatangi titik distribusi itu berarti memilih antara makan atau peluru.”
Data terbaru dari Kementerian Kesehatan Gaza menunjukkan, sejak 7 Oktober 2023 hingga akhir Juli 2025, setidaknya 154 warga Palestina meninggal akibat kelaparan dan kekurangan gizi, termasuk 89 anak-anak.
Rose yang juga pernah bertugas di Gaza tahun lalu menambahkan bahwa kekurangan gizi telah melumpuhkan sistem kekebalan tubuh warga, terutama anak-anak, membuat pengobatan luka perang hampir mustahil dilakukan.
“Kami berhadapan dengan tubuh-tubuh yang terlalu lemah untuk sembuh. Luka tidak menutup, infeksi menyebar, dan obat-obatan hampir tak ada. Terutama antibiotik, barang langka yang menyelamatkan jiwa.”
Menurutnya, luka-luka yang dihadapi pasien di Gaza terbagi dalam tiga kategori: gelombang ledakan yang menyebabkan robeknya gendang telinga dan usus, luka bakar parah akibat ledakan dan kebakaran, serta luka akibat serpihan logam yang menembus dada, kepala, dan organ dalam, sering kali berujung kematian.
Yang lebih menyayat, para tenaga medis asing pun turut merasakan lapar. Rose mengatakan mereka hanya diperbolehkan membawa satu tas berisi 23 kilogram barang. Awalnya, Rumah Sakit Nasser memberi dua kali makan sehari kepada para tenaga medis. Tapi kemudian, bantuan makanan itu juga berhenti.
“Rekan-rekan saya membeli makanan yang bisa mereka temukan dengan harga yang sangat mahal, atau mempertaruhkan nyawa di titik distribusi bantuan,” ujar Rose.
Ia menyerukan kepada para pemimpin dunia untuk tidak tinggal diam menghadapi bencana kemanusiaan yang sedang berlangsung.
“Yang disebut ‘Lembaga Kemanusiaan Gaza’ harus dihentikan perannya. Dunia harus membuka akses bantuan secara luas dan tanpa syarat ke Gaza. Sekarang. Sebelum lebih banyak anak menjadi angka, dan bukan nama.”
Sejak Oktober 2023, Israel melancarkan perang penghancuran menyeluruh terhadap Gaza, dengan bom, kelaparan, pengungsian paksa, dan blokade yang menyulut krisis kelaparan terburuk dalam sejarah modern. Semua ini bukan kebetulan. Ini adalah kebijakan. Sistematis. Mematikan.