Tepi Barat kini menghadapi babak baru dari pendudukan yang kian sistematis. Di tengah perhatian dunia yang tertuju pada gencatan senjata rapuh di Gaza, pemerintah sayap kanan Israel terus menancapkan cengkeramannya melalui perluasan permukiman ilegal, penguasaan institusional, dan penyerapan wilayah secara perlahan. Semua ini berlangsung tanpa gembar-gembor, namun efeknya jauh lebih dalam, menghapus sisa-sisa harapan bagi terbentuknya negara Palestina yang merdeka.

Pertanyaan besar kini menggantung: sejauh mana pemerintahan Presiden Donald Trump benar-benar mampu menekan Israel agar menghentikan rencana aneksasi Tepi Barat, sebagaimana ia menekan Tel Aviv untuk menghentikan perang di Gaza? Sementara itu, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bersama koalisi sayap kanan ekstremnya, tampak kian berani melangkah menuju aneksasi de facto tanpa deklarasi resmi.

Data di lapangan menunjukkan kecepatan ekspansi yang mengkhawatirkan: lebih dari 200 permukiman dan 220 pos ilegal telah berdiri, dihuni lebih dari 700 ribu pemukim Yahudi yang kini menguasai hampir 10 persen wilayah Tepi Barat.

Peneliti Timur Tengah Ruyan Paul menegaskan, meski Trump menolak aneksasi secara formal, langkah itu tidak menghentikan Israel dari memperluas permukiman baru, sebuah bentuk “aneksasi diam-diam” yang berlangsung di bawah pengaturan sipil seolah-olah wilayah itu bagian dari Israel.

Mantan Menteri Palestina, Ali al-Jarbawi, menilai penolakan Trump terhadap “aneksasi resmi” hanyalah permainan kata. Ia menilai ada kesepakatan tak tertulis: perang di Gaza dihentikan, namun sebagai gantinya, Israel diberi ruang melanjutkan aneksasi bertahap di Tepi Barat.

Politikus Arab-Israel Ayman Odeh bahkan menyebut hubungan kedua negara kini sepenuhnya berada di bawah kendali Washington. “Trump kini seperti Presiden Israel sesungguhnya, sementara para pejabat Israel hanyalah pembantunya,” ujarnya sinis.

Skenario yang dikhawatirkan para analis adalah munculnya bentuk “pemerintahan lokal Palestina” tanpa kedaulatan politik, sekadar otoritas administratif tanpa hak menentukan nasib sendiri. Formula ini, kata para pengamat, hanya akan menyalakan kembali lingkaran kekerasan di masa depan.

Meski begitu, di tengah tekanan dan keputusasaan, Odeh menegaskan bahwa rakyat Tepi Barat tetap menjadi simbol keteguhan dan daya tahan.

“Kondisi luar biasa ini hanya sementara,” ujarnya penuh keyakinan, “pada akhirnya, pemerintahan Israel yang menindas ini akan runtuh, dan Palestina akan kembali menegakkan haknya di tanahnya sendiri.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here