Spirit of Aqsa, Jalur Gaza- “Beri aku minum, semoga  Allah melindungimu. Demi Allah, aku rindu rasanya. Aku akan mati kehausan.” Dengan kata-kata itu, seorang pemuda meminta air minum yang dibawa oleh seorang warga Gaza saat lewat di dekat Al-Rumah Sakit Shifa di Kota Gaza.

Warga yang lewat itu tak segan-segan memberikan kepada pemuda tersebut. Ada rasa haru, pemuda itu seolah mendapatkan harta tak ternilai setelah beberapa hari mengungsi di rumah sakit tersebut.

Pemandangan ini mencerminkan krisis air yang dihadapi rakyat Palestina, setelah penjajah Israel memutus jalur air utama yang mengalir ke Jalur Gaza. Krisis air semakin parah sejak hari-hari pertama pembantaian. Penjajah Israel memutus semua pasokan listrik, air, obat-obatan, dan bahan bakar. Kondisi kemanusiaan di Jalur Gaza menjadi tragis.

Komite Palang Merah Internasional mengatakan, situasi kemanusiaan di Gaza adalah “bencana besar, dan semakin buruk setiap saat. Warga sipil di Jalur Gaza menanggung beban kemanusiaan yang besar, terutama perempuan dan anak-anak.”

Saat menggambarkan situasi itu, komite itu mengatakan, “Apa yang kami lihat di Gaza belum pernah kita saksikan sejak kehadiran kami sejak 1967. Kehancuran ini berdampak pada infrastruktur air dan air limbah, karena sebagian besar dari infrastruktur tersebut sudah tidak berfungsi lagi, yang menunjukkan bencana lingkungan hidup.”

Komite tersebut menekankan, “mendapatkan satu titik air minum bersih, atau sepotong roti di Gaza, adalah perjalanan berbahaya yang memakan waktu berjam-jam.”

Solusi yang Mematikan

Krisis air telah menyebabkan warga Palestina meminum air tercemar yang diambil dari sumur dekat laut dan saluran pembuangan limbah.

Dalam sebuah pernyataan kepada Anadolu Agency, Rami Al-Abadla, Wakil Direktur Layanan Kesehatan Palestina, mengatakan, penduduk Jalur Gaza meminum air yang tercemar, karena pasokan air terputus sama sekali. Tentara penjajah Israel memutus tiga saluran air dari sumber air Jalur Gaza.

Al-Abadla membenarkan, sekitar seribu kasus dipantau setiap hari, termasuk diare, cacar, infeksi saluran pernapasan, dan keracunan akibat air yang terkontaminasi. Air diambil dari sumur melalui generator listrik kecil yang telah diubah dari bahan bakar bensin menjadi gas untuk memasak.

Saat ini tidak ada bahan bakar dalam jumlah banyak di Jalur Gaza, namun gas tersedia dalam jumlah yang sangat terbatas dan akan habis dalam beberapa hari.

Air hanya tersedia di wilayah terbatas, sehingga ribuan warga Palestina setiap hari berangkat untuk antre panjang hanya sekadar mengisi galon (satu galon sama dengan 17 liter). Antre pun tak sebentar. Mereka harus menunggu berjam-jam.

Tidak ada jaminan setiap orang antri bisa mendapatkan air dan roti dalam satu hari. Setiap antrian bisa memakan waktu delapan jam. Jika pun dapat, setiap keluarga harus membagi sedikit demi sedikit agar bisa bertahan hidup.

Namun, solusi ini tidak tersedia untuk semua orang, karena ada beberapa daerah yang sulit mendapatkan air karena pengeboman terus-menerus. Mengingat kondisi ini, banyak orang mengandalkan jus dan soda yang tersisa di beberapa toko sebagai alternatif air minum. Namun, minuman tersebut hanya tersedia dalam jumlah kecil.

Semua solusi tersebut menunjukkan rasa haus menjadi mimpi buruk bagi warga Palestina, khususnya di Kota Gaza dan Gaza utara. Wilayah ini tidak menerima bantuan kemanusian yang masuk melalui perbatasan Rafah.

Masyarakat Gaza utara hanya saling berbagi dengan persediaan pangan yang tersedia. Beberapa relawan juga membagikan bantuan seadanya dan semampu mereka, mengingat situasi dan kondisi yang super sulit.

Sumber: Anadolu Agency, Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here