Hampir dua tahun berlalu sejak “Taufan Al-Aqsa” mengguncang jantung Israel, hari yang oleh banyak warga mereka disebut sebagai yang tergelap dalam sejarah. Namun dari seluruh jajaran elit keamanan dan militer yang kala itu berada di pucuk kekuasaan, hanya satu yang masih bertahan: Benjamin Netanyahu.

Menteri Pertahanan dicopot. Kepala Staf, Kepala Shin Bet, Kepala Intelijen Militer, bahkan Ketua Komite Luar Negeri dan Keamanan Knesset, semuanya telah lengser karena mundur, ditekan, atau disingkirkan. Tapi Netanyahu tetap duduk nyaman di kursi perdana menteri, seolah badai tak pernah menyentuhnya.

Kini, ketika daftar “kambing hitam” telah habis, Netanyahu mengarahkan panahnya ke Jenderal Eyal Zamir—Kepala Staf militer yang ditunjuknya sendiri. Sang jenderal kini didorong ke tepi jurang, hendak dijadikan tumbal terakhir dari tragedi Gaza yang terus membara.

Drama Kekuasaan dan Mesin Propaganda
Dalam analisis tajam yang diterbitkan Haaretz, jurnalis Amir Tibon menyebut Netanyahu sedang memoles citra dirinya sebagai “penyelamat terakhir dari bencana 7 Oktober”, bukan sebagai pemimpin yang memikul tanggung jawab atas tragedi yang terjadi di bawah kekuasaannya selama lebih dari 16 tahun terakhir.

Zamir dipilih bukan tanpa alasan. Ia diharapkan tunduk pada garis keras Netanyahu yang menginginkan kelanjutan agresi ke Gaza, termasuk ke wilayah-wilayah sensitif yang diyakini menjadi tempat tawanan Israel masih hidup. Tapi Zamir menolak.

“Jika kita bergerak ke sana, itu bisa menjadi pembantaian,” ujar Zamir kepada para pejabat, merujuk pada tewasnya lebih dari 40 tawanan (termasuk warga AS-Israel, Hersh Goldberg-Polin) yang terbunuh saat pasukan Israel mendekati lokasi mereka di Rafah.

Lebih jauh, Zamir secara terbuka menentang pengecualian dinas militer bagi komunitas ultraortodoks (Haredi), menyebut bahwa “kebutuhan tentara tak bisa terpenuhi tanpa sistem wajib militer yang adil.”

Narasi Dibelokkan, Lawan Disingkirkan
Menanggapi pembangkangan Zamir, kubu Netanyahu (termasuk putranya, Yair, dari kediamannya di Miami) melancarkan serangan balik. Melalui media loyalis dan akun-akun anonim, mereka menyebar tuduhan bahwa Zamir merencanakan “kudeta militer” dan bahkan mengklaim Netanyahu “tak pernah menginginkannya sebagai kepala staf.”

Mesin propaganda yang sama kini menuduh bahwa para jenderal sebelumnya adalah bagian dari “konspirasi elit” untuk menggagalkan kemenangan di Gaza, membingkai Netanyahu sebagai korban konspirasi, bukan pemegang kendali atas keputusan perang dan kematian ribuan warga sipil.

Kebenaran yang Sulit Disangkal
Namun, rakyat Israel mulai jengah. Perang yang diperpanjang, para tawanan yang tak kunjung dibebaskan, dan krisis kemanusiaan yang memburuk, semuanya membentuk luka strategis yang tak bisa lagi ditutup dengan kata-kata manis atau kambing hitam baru.

Zamir mungkin tidak akan bertahan lama, tapi ia tak sendiri. Banyak pihak mulai sadar bahwa akar krisis bukan pada jenderal atau pejabat yang berguguran, melainkan pada sosok yang terus bertahan, menggenggam kekuasaan dengan segala cara: Benjamin Netanyahu.

“Kini, hanya tinggal satu pria berdiri di antara kehancuran dan sejarah yang tak bisa ia lari darinya.” Dan mungkin, untuk pertama kalinya, kambing terakhir itu menolak disembelih.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here