Sebuah laporan terbaru dari media Israel menyebutkan bahwa tiga tentara dari Batalion 931 Brigade Nahal dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan militer setelah mereka menolak kembali bertempur di Jalur Gaza. Ketiganya sebelumnya telah terlibat dalam beberapa putaran serangan sejak dimulainya agresi brutal pada 7 Oktober 2023.

Vonis penjara terhadap ketiga tentara itu bervariasi antara satu minggu hingga dua belas hari. Sementara satu tentara lainnya masih menunggu keputusan, keempatnya kini telah dicopot dari seluruh misi tempur di masa mendatang. Menurut pengakuan orang tua salah satu tentara, keempatnya mengalami “pengalaman mengerikan” dan kehilangan rekan-rekan mereka selama bertugas di Gaza, pengalaman yang “akan menghantui mereka seumur hidup.”

Desersi ini bukan kasus tunggal. Pada akhir Mei lalu, dua tentara dari brigade yang sama juga dijatuhi hukuman karena menolak ambil bagian dalam operasi militer. Di waktu yang hampir bersamaan, puluhan tentara cadangan dari Korps Medis militer (termasuk dokter dan paramedis) menandatangani petisi yang menyatakan bahwa mereka tak lagi bersedia kembali ke Gaza.

Penolakan ini bukan semata karena kelelahan. Para penandatangan menyebut bahwa ajakan untuk merebut tanah Palestina dan rencana pemukiman baru di Gaza merupakan pelanggaran nyata terhadap hukum internasional. Mereka juga menyoroti ketiadaan kemajuan dalam upaya pertukaran tawanan sebagai alasan tambahan.

Lebih jauh, mereka mengaku bahwa perang ini tak lagi masuk akal dan menimbulkan luka mendalam, baik bagi warga sipil Palestina maupun Israel. Lama pertempuran, ketegangan mental, serta terpaan peristiwa traumatis membuat mereka menolak terus dilibatkan dalam mesin kekerasan yang mencabik nilai-nilai kemanusiaan.

Ledakan Gangguan Mental di Tubuh Militer Zionis

Sementara itu, Yedioth Ahronoth melaporkan bahwa lebih dari 100.000 tentara cacat, termasuk ribuan dengan gangguan kejiwaan, telah tercatat dalam data Kementerian Pertahanan Israel, mayoritasnya sejak perang Gaza dimulai.

Angka kejutan datang dari klaim militer sendiri, lebih dari 10.000 tentara mengalami gangguan psikologis akut sejak serangan 7 Oktober, dan angka tersebut diperkirakan akan terus bertambah tajam sepanjang tahun ini. Bahkan, tahun 2024 diprediksi akan melampaui rekor krisis mental yang mencuat tahun lalu, di mana 9.000 tentara berusia di bawah 30 tahun mengalami trauma berat.

Tragedi ini terjadi di tengah genosida terbuka yang terus berlangsung di Gaza. Dengan sokongan penuh Amerika Serikat, Israel terus melancarkan operasi militer yang tak hanya membunuh, melainkan juga meluluhlantakkan wilayah sipil, memblokade makanan dan obat, serta memaksa pengungsian massal. Hasilnya: lebih dari 204.000 warga Palestina gugur atau terluka, lebih dari 9.000 orang hilang, dan ratusan ribu lainnya terjebak dalam kelaparan mematikan, termasuk puluhan anak-anak.

Sementara dunia menyerukan penghentian kekejaman, dan Mahkamah Internasional mengeluarkan perintah untuk menghentikan genosida, Tel Aviv terus menutup telinga dan menggali kuburannya sendiri, baik secara moral maupun kemanusiaan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here