Untuk pertama kalinya sejak dimulainya genosida di Gaza, Israel di bawah “pemerintahan” Benjamin Netanyahu terpaksa membuka celah-celah kemanusiaan. Pemerintahannya menjatuhkan bantuan dari udara dan membuka rute baru bagi konvoi bantuan PBB, langkah yang mencerminkan pengakuan diam-diam atas kegagalan strategi pengepungan (blokade).

Amos Harel, analis militer Haaretz, menilai langkah ini sebagai manuver panik yang diambil dalam satu hari penuh kekacauan di tingkat tertinggi pemerintahan. “Ini bukan hasil evaluasi strategis, tapi respons reaktif akibat tekanan dari dalam dan luar negeri serta kekhawatiran akan ledakan kecaman internasional,” tulisnya dalam artikel terbaru.

Menurut Harel, kegagalan Netanyahu tak hanya soal kegagalan membebaskan sandera, tapi juga ketidakmampuan menahan krisis kemanusiaan yang memburuk. Lebih dari empat bulan perang, kondisi di Gaza memburuk ke titik yang tak bisa dibantah, bahkan oleh juru bicara militer Israel yang terus menyangkal laporan kelaparan.

“Mereka terpaksa melanggar doktrin lama: memblokade penuh demi tekanan politik. Tapi kini, gambar lapangan, data PBB, dan realitas di tanah lapang berbicara lebih keras dari propaganda,” ujar Harel.

Ia juga menyebut bahwa kembalinya Israel ke medan perang awal tahun ini bukanlah langkah militer yang matang, tapi hasil tekanan dari koalisi sayap kanan ekstrem seperti Otzma Yehudit pimpinan Itamar Ben Gvir. “Perang ini lahir dari ilusi, bukan perhitungan militer,” tegasnya.

Tak hanya gagal menekan Hamas, kebijakan Netanyahu justru memperkuat dukungan internasional terhadap rakyat Palestina. “Selama berbulan-bulan, pemerintah ini menutup mata dari kenyataan dan menutup telinga terhadap peringatan dari para analis dan media Israel sendiri.”

Upaya menggiring warga Gaza keluar lewat tekanan kemanusiaan atau membatasi bantuan demi mendorong “migrasi sukarela” juga kandas. Semua rencana itu hancur lebur di hadapan daya tahan rakyat Gaza dan solidaritas global.

Harel menyebut pemerintah Israel telah melewatkan peluang-peluang emas untuk menghentikan perang dan membangun kesepakatan damai. “Tapi Netanyahu menolaknya. Kini, ia terpaksa mengambil langkah-langkah yang tidak populer,” tulisnya.

Lebih jauh, ia menyoroti bahwa krisis kepemimpinan Netanyahu semakin tampak. Jumlah tentara Israel yang gugur terus bertambah, tanpa tujuan militer yang jelas di lapangan. “Jika situasi terus memburuk, dunia akan mengambil langkah nyata menekan Israel. Cepat atau lambat, Netanyahu bisa dipaksa menerima kesepakatan gencatan senjata yang tak sesuai tujuannya, tanpa sandera kembali, tanpa Hamas hancur.”

Harel menutup analisanya dengan kesimpulan tajam: “Israel terjebak dalam krisis kepemimpinan akut. Netanyahu tak mau berkompromi secara strategis, tapi juga tak sanggup mengendalikan para menterinya yang radikal. Sementara itu, Hamas menguat, di medan perang, dan di meja diplomasi. Dan Israel terus membayar harga mahal dari kebekuan politik, kekacauan taktis, dan penyangkalan terhadap tragedi kemanusiaan di Gaza.”

Sumber: Haaretz

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here