Sebuah delegasi pimpinan Hamas menggelar pertemuan dengan Kepala Intelijen Mesir di Kairo pada Ahad (23/11) membahas arah dan mekanisme tahap kedua dari kesepakatan gencatan senjata di Gaza.
Dalam pernyataannya, Hamas menyebut delegasi yang dipimpin Ketua Dewan Kepemimpinan, Muhammad Darwish, bertemu dengan Menteri Intelijen Mesir Hassan Rashad. Pertemuan itu menyoroti perkembangan implementasi gencatan senjata, situasi umum di Gaza, serta rincian teknis tahap lanjutan dari kesepakatan tersebut.
Hamas menegaskan komitmennya menjalankan tahap pertama gencatan senjata. Namun, mereka menuntut penghentian pelanggaran berulang yang dilakukan pasukan pendudukan Israel, pelanggaran yang dinilai mengancam merusak kesepakatan. Hamas mendesak agar ada mekanisme pengawasan yang tegas dan transparan di bawah pemantauan para mediator.
Delegasi juga membahas penanganan segera situasi para pejuang di Rafah. Hingga kini, jalur komunikasi dengan kelompok tersebut terputus, sehingga Hamas mendorong mediator agar menekan semua pihak terkait untuk membuka akses.
Seorang sumber dalam Hamas mengatakan kepada Al Jazeera bahwa prioritas utama delegasi adalah mencegah eskalasi baru di Gaza. Sejak gencatan senjata mulai berlaku, tercatat 497 pelanggaran Israel yang menyebabkan 342 warga Palestina gugur sebagai syahid.
Delegasi Hamas juga membawa agenda tambahan: meminta penjelasan soal implikasi Resolusi Dewan Keamanan PBB 2803 yang menyangkut rencana Presiden AS Donald Trump untuk mengakhiri perang Israel di Gaza. Resolusi itu disahkan pada 17 November lalu dan membuka sejumlah pertanyaan tentang langkah berikutnya dalam diplomasi regional.
Di lapangan, pemerintah Israel tetap tidak menjalankan kewajiban membuka perlintasan Rafah untuk arus manusia dan barang, termasuk bantuan kemanusiaan. Distribusi bantuan masih jauh dari standar yang disepakati dalam protokol kemanusiaan. Pasukan Israel juga terus melintasi garis kuning dan melakukan penghancuran bangunan sipil di wilayah yang mereka duduki, memperlebar jarak antara teks kesepakatan dan realitas di Gaza.
Sumber: Al Jazeera










