Di atas geladak kapal Armada Sumud, para relawan dari berbagai negara kembali berkumpul. Kapal mereka sarat dengan bantuan kemanusiaan untuk Gaza, dan tekad mereka bulat: menembus blokade hingga misi selesai.

Protokol keamanan darurat diperiksa dengan teliti, dari rompi pelampung, titik kumpul, hingga skenario menghadapi serangan. Mereka berlatih bukan hanya untuk kebakaran, tabrakan, atau jatuh ke laut, tetapi juga menghadapi kenyataan yang lebih menegangkan: intersepsi brutal oleh tentara Israel. Para relawan diajarkan untuk mengangkat tangan jika kapal diserbu, menegaskan sikap damai sesuai misi mereka.

Armada kini sudah meninggalkan Sisilia, bergerak di perairan internasional antara Italia dan Siprus. Inilah “zona kuning”, wilayah di mana serangan Israel bisa datang kapan saja. Maka, latihan bagaimana bersikap di tengah kekerasan menjadi sangat krusial.

Propaganda Lama, Tekad Baru

Israel berupaya mendiskreditkan misi ini. Kementerian Luar Negeri menyebutnya “armada jihadi,” sementara Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir bahkan menuntut aktivis kemanusiaan dicap “teroris.” Namun, panitia flotilla menegaskan: itu hanya perang psikologis. “Propaganda adalah strategi lama,” kata salah seorang koordinator.

Latihan pun berlangsung emosional. Seorang fasilitator berkata lantang, “Jika saya dipukul atau diseret, jangan ada yang membalas atau memohon. Hormati keputusan saya.” Kalimat itu diulang satu per satu oleh para relawan, hingga akhirnya disingkat menjadi dua kata sederhana: “Nafas sama.” Pesan jelasnya: jangan ada reaksi yang bisa memicu lebih banyak kekerasan.

Seorang relawan menegaskan, “Jika kau bereaksi saat dipukul, kau bukan hanya membahayakan dirimu, tapi juga seluruh kelompok.” Tekanan fisik dan mental kian terasa, apalagi setelah pengalaman dihantam drone saat berlabuh di Tunisia. Namun semua relawan tetap siaga: berjaga semalaman, mata tak lepas dari langit, waspada terhadap serangan berikutnya.

Air Mata Perpisahan, Bendera Palestina

Tak semua yang ingin ikut bisa berlayar. Keterbatasan kapal membuat panitia harus mengambil keputusan pahit. Di pelabuhan Bizerte, Tunisia, daftar dibacakan, awak dibagi, dan air mata mengalir. Relawan yang harus turun kembali ke darat menitipkan doa, semangat, bahkan bendera Palestina agar tetap berkibar di atas kapal.

“Letakkan bendera ini di kapal. Itu milik sahabat saya, telah tergantung di jendelanya selama bertahun-tahun,” pinta Marcin, relawan asal Polandia yang tinggal di Norwegia.

Sementara sebagian relawan menunggu penerbangan pulang, mereka yang bertahan melanjutkan misi. Kapal-kapal dibersihkan, diperbaiki, dan dipersiapkan untuk fase berikutnya. Relawan yang berpengalaman dalam pelayaran membimbing yang awam, menjadikan setiap tangan berguna.

Dari Italia, Armada Sumud kembali berlayar. Melewati “zona kuning,” mereka kini kian dekat dengan “zona merah”, hanya sekitar 100 mil laut dari pantai Gaza. Bahaya berlipat, tapi latihan, doa, dan tekad tetap menyala. Armada ini tahu: yang mereka hadapi bukan sekadar laut, melainkan sejarah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here