Spirit of Aqsa- Sebuah kisah pilu datang dari seorang ayah yang masih terjebak dalam bayangan kehilangan putrinya yang syahid, meskipun tubuhnya berada di penjara. Salah Farwana, yang berusia lebih dari 40 tahun, terus mengenang putrinya Raghd (16 tahun) yang meninggal 11 bulan lalu di bawah reruntuhan rumah mereka di Gaza. Di dalam sel penjara, dengan mata tertutup, ia berusaha merasakan kehadiran putrinya sambil menahan air mata yang tak bisa dibendung.
Sejak serangan udara Israel yang 15 anggota keluarganya syahid, termasuk putrinya, Farwana terus berjuang dengan kenangan pahit. Hingga saat ini, tiga dari anggota keluarganya masih belum ditemukan di bawah reruntuhan, dan ia hanya bisa menggali dengan tangan kosong untuk mencari mereka.
Farwana, yang selamat dari tiga percobaan pembunuhan, kehilangan keluarganya, rumah, dan pekerjaannya. Ia ditangkap oleh pasukan Israel saat mendampingi kerabatnya yang terluka di rumah sakit Al-Shifa, dan setelah sebulan lebih di penjara, ia dibebaskan dan dipindahkan ke selatan Gaza. Namun, kehilangan dan penyesalan terus menghantuinya, terutama karena ia tidak bisa memakamkan keluarganya dengan layak.
Kenangan dan Kesedihan Para Penyintas
Kisah serupa juga dialami oleh Ummu Abdurrahman, yang bersama dua anggota keluarganya selamat dari reruntuhan setelah delapan hari terjebak di bawah bangunan yang runtuh. Mereka menemukan celah kecil untuk keluar setelah mengikuti jejak udara yang masuk. Suaminya, Abu Kamal, berhasil membuka celah di reruntuhan dan menyelamatkan mereka dari maut.
Sementara itu, Ummu Hudaifah Lulu, yang kehilangan 20 anggota keluarganya, termasuk suami dan anaknya, masih terjebak dalam trauma. Ia selamat setelah lebih dari satu jam tertimbun reruntuhan, tetapi lima jenazah anggota keluarganya masih tertinggal di bawah puing-puing rumah mereka. Dengan suara bergetar, Ummu Hudaifah mengenang upaya penyelamat yang berhasil menemukan dan membawanya keluar dari reruntuhan dengan susah payah.
Harapan dan Penyesalan
Harapan untuk memakamkan jenazah keluarga dengan layak terus membayangi para penyintas ini. Meskipun rumah mereka kini menjadi makam bagi orang-orang terkasih, mereka berharap bisa memberikan penghormatan terakhir bagi mereka. Ummu Hudaifah memilih untuk tetap tinggal di Gaza, meskipun rumahnya hancur, dan keluarganya telah kehilangan nyawa mereka. Bagi para penyintas ini, kenangan pahit dan kehilangan yang tak tergantikan adalah harga yang mereka bayar untuk bertahan di tanah air mereka.
Saat serangan berakhir, tantangan baru menanti keluarga-keluarga yang kehilangan lebih dari 10.000 orang yang masih terkubur di bawah reruntuhan. Pencarian dan pemakaman akan menjadi perjuangan panjang yang penuh dengan duka dan kesedihan, saat mereka berusaha menemukan sisa-sisa tubuh orang-orang terkasih yang telah hilang hampir setahun lalu.