Di Gaza, sejarah luka terulang. Di tempat yang sama, di mana jeritan kecil Hind Rajab pernah menembus batas nurani dunia, kini suara itu berganti menjadi bisu. Ghada Rabah, dengan sisa harapan di tangannya, sempat meraih ponsel dan mengirim pesan terakhir: sebuah tanda kehidupan. Tak lama, sambungan terputus, harapan ikut terputus, dan dunia kembali menyaksikan senyap berat dari ribuan teriakan Gaza yang tak pernah digubris.

Hampir dua tahun perang genosida menjadikan pemandangan ini bukan lagi kejutan. Rumah-rumah menjelma kuburan massal. Seruan minta tolong berubah menjadi pesan terakhir yang tidak pernah sampai. Dan dunia? Hanya menjadi penonton, membiarkan Gaza tenggelam dalam darah dan debu.

Kisah Ghada Rabah meledak di jagat maya. Keluarganya meluncurkan tagar #Selamatkan_Ghada_Rabah, menambah daftar panjang kisah getir yang menelanjangi kebiadaban perang dan kejamnya blokade Israel. Sebuah bukti bahwa ini bukan peristiwa terpisah, melainkan bagian dari rangkaian genosida yang berlangsung setiap hari.

Namun, harapan keluarga kandas. “Setelah pencarian berjam-jam, tim kami kembali tanpa hasil. Rumah itu telah rata dengan tanah,” tulis Mahmoud Basal, juru bicara Pertahanan Sipil Gaza.

Lebih memilukan lagi, tangisan sang kakak di Facebook: “Ghada masih hidup, sendirian di bawah reruntuhan. Dia sempat menghubungi kami beberapa jam lalu. Tapi peralatan pertahanan sipil tidak cukup untuk menggali, karena kerusakan terlalu besar. Demi Allah, jangan hentikan upaya… coba lagi.”

Banyak warganet membandingkan nasib Ghada dengan Hind Rajab, bocah lima tahun yang dibantai Israel bersama keluarganya di mobil tempat mereka berlindung, Januari 2024 lalu. Ironisnya, lokasi dan skenario yang hampir sama kini kembali dipertontonkan. Ghada berteriak dua hari penuh, hingga akhirnya rumahnya kembali dibombardir dan rata dengan tanah sebelum tim penyelamat tiba.

Kisah Ghada adalah potret Gaza itu sendiri: suara-suara yang mencoba menembus dunia, pesan terakhir yang tak pernah direspons, kehidupan yang padam di tengah generasi digital yang hanya sanggup mendokumentasikan, bukan menyelamatkan.

Aktivis bertanya: sampai kapan dunia akan berdiam diri, membiarkan genosida ini berlangsung terang-terangan? Sampai kapan Gaza harus mengirim pesan terakhir dari balik reruntuhan tanpa pernah didengar?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here