Amerika Serikat dan Israel disebut menjadikan isu bantuan kemanusiaan sebagai bagian dari strategi perang di Jalur Gaza. Di tengah serangan brutal dan evakuasi massal, bantuan seperti makanan dan obat-obatan justru dimanfaatkan untuk melanggengkan agresi.
Sekretaris Jenderal Inisiatif Nasional Palestina, Mustafa Barghouti, menyebut kunjungan utusan AS untuk Timur Tengah, Steven Wietkoff, hanya kedok politik menjelang kembalinya Donald Trump di panggung global.
“AS dan Israel menjadikan bantuan sebagai senjata. Ini bukan lagi sekadar perang, ini proyek pembersihan etnis,” tegas Barghouti dalam program Masar al-Ahdats.
Ia menilai, meski perang telah berlangsung lebih dari 19 bulan, Israel belum mencapai satu pun tujuan militernya: perlawanan tetap hidup, para tawanan belum dibebaskan, rencana pemindahan paksa gagal total, dan cadangan militer Israel mengalami krisis serius.
Bantuan di Tengah Evakuasi Massal
Analis militer Brigjen Elias Hanna menyebut strategi Israel di Gaza utara sebagai kelanjutan dari “Rencana Para Jenderal” di masa lalu—yakni mengosongkan wilayah dari penduduk sipil.
“Perang ini telah kehilangan batas. Doha hanyalah selingan,” ujarnya, seraya menyoroti lemahnya pasokan personel cadangan militer Israel, yang kini harus tersebar di beberapa front: Tepi Barat, Lebanon, hingga Suriah.
Operasi militer besar-besaran Israel kini berlangsung di wilayah utara dan selatan Gaza dengan sandi “Kereta Gideon.” Sementara serangan udara menghantam rumah-rumah warga, tenda pengungsi, hingga rumah sakit, pusat distribusi bantuan dibangun secara terpisah dan dijaga ketat.
Janji Bantuan yang Penuh Perangkap
Kantor Perdana Menteri Israel mengklaim bahwa pembukaan jalur bantuan ke Gaza didasarkan pada “rekomendasi militer.” Axios melaporkan bantuan akan disalurkan oleh lembaga internasional sampai sistem distribusi baru diberlakukan mulai 24 Mei mendatang.
Namun Barghouti menyebut langkah itu bukanlah bentuk belas kasih, melainkan respons atas tekanan global.
“Masalahnya bukan di pengiriman bantuan, tapi siapa yang mengontrolnya,” tegasnya. Ia menuding bantuan digunakan sebagai alat untuk melegitimasi rencana mencabut rakyat Palestina dari tanah mereka sendiri.
Pengamat isu Israel, Muhannad Mustafa, juga menyebut rencana ini bagian dari paket “kemanusiaan” AS-Israel yang bertujuan memperluas kontrol di Gaza.
“Distribusi bantuan bukan solusi. Ini tak akan mengubah posisi Israel dalam negosiasi Doha,” ujarnya.
Menurut Hanna, pusat-pusat bantuan yang kini dibangun di bawah Poros Morag—yang memisahkan Khan Younis dan Rafah—dikendalikan dari jarak jauh oleh militer Israel. Ini menciptakan sistem distribusi yang sepenuhnya berada di bawah kendali penjajah.
Perlawanan Tak Akan Menyerah
Di tengah situasi yang kian memburuk, satu hal menjadi terang: rakyat Palestina tidak akan mundur.
“Ini perang hidup dan mati. Menyerah bukan pilihan,” tegas Brigjen Hanna.