Di tengah puing-puing perang yang melanda Gaza, kreativitas warga muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap kesulitan hidup. Di gang-gang Kamp Al-Nuseirat, dua bersaudara, Abdul Raouf (19) dan Reem Aziz (15), mengubah sepeda tua menjadi penggerak mesin jahit, mengatasi pemadaman listrik yang berkepanjangan.

Pekerjaan ini melelahkan, tapi kami harus bekerja untuk bertahan hidup,” kata Reem kepada Al Jazeera. Setiap hari, Abdul Raouf menjahit pakaian sementara Reem mengayuh sepeda untuk menggerakkan mesin, sebuah simbol ketangguhan keluarga melawan kemiskinan dan blokade.

Sebelum perang, mesin jahit keluarga dijalankan listrik. Namun pasokan listrik terhenti, memaksa mereka mencari solusi alternatif. Sepeda tua itu kini menjadi sumber penghidupan, menjaga usaha tetap berjalan.

Perang juga memaksa Abdul Raouf meninggalkan sekolah untuk bekerja bersama adiknya sejak pagi hingga senja demi memenuhi kebutuhan keluarga. “Kami bekerja dari jam delapan pagi hingga matahari terbenam untuk menyediakan makanan dan minuman. Tanpa cara ini, mesin berhenti, dan hidup kami ikut berhenti,” ujarnya.

Trauma perang tak hanya soal ekonomi. Keluarga ini kehilangan kerabat dan tetangga, meninggalkan luka psikologis yang mendalam. “Gaza dulu indah, Al-Nuseirat penuh orang. Sekarang kosong,” kata Reem dengan sedih.

Meski hidup penuh keterbatasan, harapan tetap ada. Reem menantikan akhir perang dan kembalinya Gaza seperti dulu, agar ia bisa melanjutkan sekolah.

Sumber: Al Jazeera Mubasher

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here