Harian Israel Ma’ariv pada Selasa (23/9) menyebut langkah Inggris, Kanada, dan Australia mengakui Palestina sebagai sebuah “gempa politik” yang mengikis secara perlahan kekebalan diplomatik Israel. Momentum ini hadir tepat menjelang Sidang Majelis Umum PBB di New York, menandai babak baru yang menempatkan Tel Aviv dalam realitas internasional yang kian berubah.
Meski pengakuan itu tidak langsung menghadirkan negara Palestina di lapangan —tanpa bendera baru, batas wilayah, atau institusi pemerintahan— Ma’ariv menekankan arti strategisnya: membuka jalan bagi kembalinya isu solusi dua negara ke pusat agenda global. Lebih dari itu, langkah ini datang dari tiga demokrasi besar Barat, sekutu terdekat Israel dan AS, sehingga bobotnya jauh melampaui pengakuan dari negara-negara Amerika Latin atau Afrika.
Pesan Jelas: Jeda Sudah Berakhir
Anna Braschi, koresponden politik Ma’ariv, menulis bahwa langkah serentak tiga ibu kota Barat itu bukan sekadar simbol kosong. Pesannya tegas: masa stagnasi politik telah berakhir. Dunia menuntut jalur politik dihidupkan kembali, meski dengan risiko menegangkan hubungan dengan Israel atau bahkan menantang sikap Washington.
Braschi menegaskan, meski tidak mengubah kondisi di lapangan, pengakuan tersebut kini bernilai sebagai “mata uang keras” di forum-forum internasional. Legitimasi terhadap hak rakyat Palestina makin bertambah, yang kelak dapat dijadikan dasar langkah hukum maupun diplomatik di berbagai lembaga global.
“Perbedaan antara simbol kosong dan simbol bermakna,” tulisnya, “terletak pada bagaimana langkah ini diinvestasikan dalam arena hukum dan diplomasi.”
Kekebalan yang Mulai Runtuh
Dengan tiga pengakuan besar dalam waktu sepekan, kata Braschi, semakin sulit bagi Israel mempertahankan status quo. Bahkan jika negara lain tidak segera mengikuti, “kekebalan politik Israel di Barat mulai tergerus.”
Tekanan mungkin tidak langsung berupa embargo senjata atau pembatalan proyek riset, namun dimulai dengan hal-hal kecil: syarat baru dalam kerja sama ilmiah, penolakan di forum akademik, dan hambatan dalam tender. Kumpulan langkah-langkah kecil itu akan menciptakan tekanan yang kian berat bagi Israel.
Bayangan Isolasi Meski Berlindung di Balik AS
Memang, Amerika Serikat masih enggan mengikuti langkah tersebut, memberi Israel semacam “payung perlindungan.” Namun Braschi memperingatkan: jika Israel terus hanya bersandar pada Washington, dunia akan melihatnya sebagai negara yang bersembunyi di balik sekutunya, sementara Barat bergerak ke arah lain. Gambaran itu kian menegaskan posisi Israel sebagai negara yang makin terisolasi dan kehilangan pengaruh dalam narasi global.
Retorika Usang vs. Realitas Baru
Di dalam negeri, reaksi Tel Aviv tak mengejutkan: menyebut Barat “mengakui terorisme” dan menuduh langkah itu sebagai “hadiah untuk Hamas.”
Namun, kata Braschi, retorika tersebut terasa terputus dari realitas. Inggris, Kanada, dan Australia justru menekankan bahwa langkah ini dimaksudkan untuk “menyelamatkan solusi dua negara,” bukan untuk memberi legitimasi kepada Hamas.
Saran Braschi jelas: jika Israel ingin meredam dampak ini, ia harus menawarkan horizon politik alternatif, mulai dari penguatan institusi sipil Palestina, inisiatif ekonomi, hingga peningkatan koordinasi keamanan dengan Otoritas Palestina. Tanpa itu, gelombang pengakuan internasional tidak akan berhenti pada simbolisme, melainkan berubah menjadi arus jangka panjang yang mengikis pengaruh dan memperdalam isolasi Israel.
Sumber: Ma’ariv