Pakar militer, Mayor Jenderal Purnawirawan Fayez Al-Duwairi, menegaskan bahwa wacana Israel untuk memperluas operasi militer dan menduduki Jalur Gaza secara penuh bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Menurutnya, keputusan tersebut telah disiapkan secara sistematis selama 20 bulan terakhir, dan kini dijalankan langkah demi langkah.
Dalam analisisnya terhadap situasi militer di Gaza, Duwairi menyebut bahwa keputusan pendudukan telah diambil sejak hari pertama perang. Ekspansi operasi saat ini difokuskan pada tiga wilayah yang selama ini relatif belum sepenuhnya dikuasai militer Israel: kamp-kamp pengungsi di Gaza Tengah, Deir al-Balah, dan kawasan Al-Mawasi di bagian selatan.
Ketiga wilayah ini sebelumnya sudah menjadi sasaran serangan dan penghancuran, bahkan tentara pendudukan sempat dua kali mencoba masuk ke Deir al-Balah, namun belum berhasil mengokupasinya secara luas. Pola ini, menurut Duwairi, mengindikasikan adanya upaya terstruktur untuk memaksa eksodus warga sipil dari wilayah-wilayah tersebut.
Pendudukan kota Rafah di ujung selatan Gaza juga menjadi preseden penting. Meski sempat ditentang oleh Amerika Serikat, Israel tetap melancarkan operasi brutal yang menghancurkan kota tersebut, tanpa memedulikan keberadaan lebih dari 1,4 juta warga sipil yang mencari perlindungan di sana.
Secara historis, kata Duwairi, kebijakan militer biasanya merupakan hasil keputusan politik. Namun, dalam sistem militer yang sehat, seorang komandan seharusnya bisa menolak atau mengkoreksi keputusan politik yang salah. Sayangnya, di Israel, dinamika itu kini nyaris tak berjalan.
Masuk Bukan Berarti Menguasai
Duwairi menambahkan, Israel secara teknis mampu melancarkan operasi darat skala besar karena masih memiliki keunggulan kekuatan militer—meskipun harus dibayar dengan kerugian besar dan melemahnya daya tempur. Sementara di sisi lain, perlawanan Palestina mengalami keterbatasan amunisi dan sumber daya, sehingga terpaksa bertahan dengan apa yang tersisa.
Namun, menurut Duwairi, kemampuan untuk masuk ke wilayah tertentu bukan berarti mampu menguasainya. “Israel tak pernah benar-benar bisa menancapkan kontrol di wilayah-wilayah yang telah mereka masuki sebelumnya,” ujarnya. Ia menilai, perluasan operasi ini lebih dimaksudkan untuk memperpanjang umur perang, bukan menyelesaikannya.
Pada Senin (4/8), surat kabar Yedioth Ahronoth melaporkan bahwa orang-orang terdekat Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengklaim bahwa Presiden AS Donald Trump telah memberikan “lampu hijau” untuk pendudukan penuh Gaza, setelah negosiasi politik menemui jalan buntu.
Netanyahu bahkan mengancam bahwa jika Kepala Staf Umum Militer Israel, Eyal Zamir, tidak setuju dengan rencana ini, maka ia harus mundur dari jabatannya. Sebelumnya, Zamir pernah memperingatkan bahwa pendudukan penuh Gaza akan menjadikan militer Israel bertanggung jawab atas lebih dari dua juta jiwa warga sipil, suatu beban yang bisa menjadi bencana jangka panjang.
Sumber: Al Jazeera