Di tengah tekanan internal dan ketegangan di pucuk kepemimpinan militer, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (yang kini menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional) dilaporkan tengah mendorong rencana untuk menduduki seluruh wilayah Gaza. Namun, seorang analis militer memperingatkan bahwa biaya dari operasi militer semacam ini akan sangat mahal, baik secara strategis maupun kemanusiaan.

Menurut laporan media Israel, tekanan politik terhadap Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, Eyal Zamir, meningkat tajam. Orang-orang dekat Netanyahu bahkan mendesaknya untuk patuh atau mundur jika tidak mendukung invasi total ke Gaza. Beberapa menteri menyebutkan bahwa Zamir dapat memilih untuk mengundurkan diri jika rencana tersebut benar-benar dijalankan, indikasi tajam dari konflik internal antara kepemimpinan politik dan militer.

Pemerintah ekstrem kanan pimpinan Netanyahu terus mendorong “kemenangan total” sebagai syarat negosiasi, dengan harapan dapat memaksa faksi-faksi pejuang Palestina untuk menyerah dalam perundingan gencatan senjata dan pertukaran tawanan.

Dalam segmen analisis militer di Al Jazeera, Kolonel Hatem Karim Al-Falahi mengungkap bahwa militer Israel telah menawarkan tiga skenario kepada para pengambil keputusan politik terkait masa depan operasi di Gaza:

  1. Menerima kesepakatan pertukaran tawanan dan mengakhiri perang, karena militer tidak lagi mampu mencetak kemenangan baru.
  2. Mengepung area tempat pejuang Palestina berada, tanpa operasi darat, sambil meminta warga sipil mengungsi ke zona “aman”.
  3. Melancarkan invasi darat penuh untuk menduduki seluruh Gaza.

Namun, opsi ketiga membawa risiko besar: potensi gugurnya para tawanan Israel yang masih ditahan di Gaza, serta ancaman tragedi kemanusiaan bagi lebih dari dua juta warga Palestina yang terjebak di wilayah sempit seperti Gaza Tengah dan Al-Mawasi. Al-Falahi memperingatkan bahwa serangan militer besar di wilayah padat seperti itu akan mengakibatkan jumlah korban luka dan syahid dalam skala besar.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa militer Israel saat ini dalam kondisi kelelahan. Mereka tak lagi mampu melakukan operasi berskala besar, terutama di medan yang dipenuhi warga sipil dan pejuang perlawanan. Biaya logistik, tekanan politik, dan resiko internasional menjadikan rencana ini hampir mustahil dijalankan tanpa membayar harga yang mahal.

Bahkan para jenderal senior Israel kini menganggap operasi militer di Gaza sebagai sia-sia. Tak ada lagi justifikasi “pembelaan diri” bagi Israel, sementara konsensus politik di dalam negeri pun semakin rapuh.

Sumber keamanan Israel menyatakan bahwa “sebenarnya sebuah kesepakatan parsial pertukaran tawanan tinggal selangkah lagi”, namun pihak Israel justru membatalkannya secara tiba-tiba.

Sementara itu, Yedioth Ahronoth melaporkan bahwa Presiden AS Donald Trump telah memberi lampu hijau kepada Netanyahu untuk melakukan operasi militer besar terhadap Hamas. Serangan ini kabarnya akan difokuskan pada wilayah-wilayah tempat tawanan Israel diyakini berada. Namun sejumlah analis menilai, ini hanyalah bagian dari taktik negosiasi yang sengaja dirancang untuk menekan Hamas.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here