Sementara dunia memperingati Hari Internasional Anak Korban Agresi setiap 4 Juni, anak-anak Gaza tak lagi punya ruang untuk merayakan. Di tengah kehancuran dan kelaparan yang mencekam, harapan mereka kini sesederhana sepotong roti, selembar pakaian baru, dan sedikit rasa aman.

Sudah lebih dari 20 bulan, perang tak henti menggulung masa kecil mereka. Anak-anak di Gaza hidup sebagai korban perang yang belum usai—bukan sekadar saksi, tapi juga pejuang kecil yang setiap hari harus bertahan dalam keadaan yang tak layak disebut kehidupan.

“Kami Ingin Roti, Seperti Dulu”

Di wilayah barat Kota Gaza, di antara ribuan pengungsi yang terusir dari timur kota dan utara Jalur Gaza, seorang bocah bernama Ahmad ‘Awda (7 tahun) berdiri tanpa alas kaki di bawah terik matahari. Di tangannya, sebuah galon plastik kosong. Ia berdiri dalam antrean panjang, menunggu giliran untuk mengisi air bagi keluarganya.

Ahmad tak sedang bermain seperti anak-anak lain. Ia tak berharap mainan atau pakaian baru untuk menyambut Idul Adha yang tinggal beberapa hari. Ia hanya berkata lirih:
“Kami ingin roti dan tepung… ingin kenyang, seperti dulu, sebelum perang.”

Rumah mereka telah hancur, dibom berbulan-bulan lalu. Kini, 17 anggota keluarga tinggal dalam reruntuhan dan kenangan melarikan diri dari maut. Ayahnya, ‘Alaa ‘Awda, kehilangan kedua kakinya. Dengan tongkat kayu, ia tak bisa lagi bekerja dan memberi makan anak-anaknya.

“Anak-anakku tak lagi punya masa kecil,” tutur ‘Alaa dengan suara bergetar.
“Mereka terbangun setiap malam karena mimpi buruk… menangis, lapar.”

“Kami Tak Makan Tepung Sejak Sebulan”

Tak jauh dari pusat pengungsian, Karam Bakr (9 tahun) mendorong kursi roda yang membawa kakaknya—terluka dalam serangan udara. Nafasnya berat. Sesekali berhenti.

“Kami ingin makan… sudah sebulan tak makan roti,” katanya sambil menahan tangis.
“Kalau kalian bisa bantu, beri kami roti, tepung, dan pakaian.”

Di Balik Kain Lusuh, Impian yang Tak Pernah Mewah

Di sebuah tenda sempit di selatan Kota Gaza, beberapa anak duduk memegang boneka tua tak berbentuk. Rital Sarsawi (8 tahun) menggenggam sepotong kain dekil.
“Aku ingin makan tepung… ingin punya baju… ingin main kayak anak-anak lain.”

Sepupunya, Maria, menambahkan, “Aku ingin makan, sekolah, pakai baju baru saat lebaran, dan tertawa.”

Keluarga mereka sudah beberapa kali mengungsi sejak perang dimulai. Dari Syujaiya ke selatan Gaza, lalu kembali saat jeda tembak-menembak Januari lalu, dan kini kembali terusir. Mereka hidup di tenda tanpa air bersih, tanpa sanitasi, tanpa keamanan. Anak-anaknya menderita mimpi buruk, penyakit kulit, dan malnutrisi.

Masuk Dunia Kerja Demi Sepiring Makanan

Di gerbang kamp pengungsian, seorang bocah berusia 12 tahun, Muhammad Abu Laban, tampak serius menjahit sepatu rusak dengan benang dan jarum.

Ia berkata, “Aku tak punya pilihan. Aku minta kerja pada tukang sepatu, tak minta gaji, hanya ingin belajar. Sekarang aku bisa bantu keluarga makan sepiring sup lentil.”

Bermain, sekolah, bahkan bersantai bukan lagi impian. “Kami ingin pulang ke rumah, ingin makan roti… itu saja,” ucap Muhammad.

Hari-Hari yang Dimulai dengan Antrean Air

Ibrahim al-‘Asy (12 tahun), sejak rumahnya di Tel al-Hawa hancur, telah mengungsi ke Rafah, Deir al-Balah, Nuseirat, dan akhirnya kembali ke Gaza. Hari-harinya dimulai pukul 7 pagi, bukan untuk belajar, tapi antre air.

“Air manis buat minum, air asin buat cuci. Habis itu cari dapur umum, siapa tahu ada makanan,” ceritanya.
“Aku ingin pulang, ingin sekolah, bermain, hidup seperti anak-anak lain.”

Sahabatnya, Kinan ‘Ashur, menyela:
“Kami dalam kelaparan… kami hanya ingin roti.”

Kini tinggal di bawah gempuran bom bersama keluarganya, Kinan tak bisa menahan tanya:
“Apa salah anak-anak yang mati? Kami cuma anak-anak… kenapa harus mati?”

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here